Taksi membawa Elena memasuki sebuah perumahan mewah, rumah yang tertata dengan bentuk dan ukuran yang hampir sama, berderet dengan rapi. Di sini tidak ada warung kecil yang biasanya pantang jika melihat pojokan jalan yang kosong, atau warung tenda seafood dan nasi goreng yang selalu memanfaatkan tempat lengang di pinggir jalan. Hanya untuk memasuki kompleks perumahan itu semua orang harus meninggalkan identitas. Suasananya tenang, dengan jalan yang lapang dan beraspal mulus. Lampu jalan bercampur dengan penerangan dari balkon rumah yang tinggi, membuat jalanan terang benderang bahkan di malam hari. Mencari alamat di dalam perumahan ini sama mudahnya dengan mencari nomor kontak di dalam hp. Seluruh nomor dan blok berurutan dengan rapi.
Taksi berhenti tepat di depan alamat yang di berikan Irwan. Sebuah rumah besar, berwarna kuning jeruk, dengan pagar tinggi berwarna keemasan. Sebuah kotak pos yang diletakkan dibagian depan menegaskan bahwa alamat ini sesuai dengan yang diberikan oleh Irwan.
Meskipun seluruh rumah yang berderet rapi itu menyalakan lampu, pertanda ada kehidupan di dalamnya, namun suasana sekitar sepi dan sunyi. Seakan jarum jatuh pun akan terdengar. Gerbang besar berwarna keemasan itu berdiri dengan gagah, seperti menantang siapapun yang hendak mengganggu ketenangan si empunya rumah yang mungkin sedang berendam air panas di dalamnya.
“ADIIITTTT.”
Suara Elena melengking membelah kesunyian di kompleks perumahan mewah itu. Dia mengintip dari sela- sela gerbang, tidak kelihatan mobilnya Adit, mungkin berada di dalam garasi. Namun lampu di pekarangan rumah menyala, begitu juga di atas balkon, seharusnya ada orang. Dia kembali memanggil dengan sekuat tenaga, sekarang sambil memukul gerbang. Tetap tidak ada reaksi, hanya terdengar sayup- sayup suara anjing menggonggong di kejauhan, terganggu oleh suara Elena.
Kemudian Elena melihat sebuah rongga di bagian atas gerbang yang seperti dibuat khusus untuk memasukkan tangan. Bodohnya dia, rumah sebesar ini tentunya ada bel pintu. Dia segera memencet bel itu. Sayup- sayup terdengar bel itu berbunyi di dalam rumah. Namun belum ada suara dari dalam rumah. Lima menit………sepuluh menit……setengah jam. Dia terus memencet bel pintu dan memanggil. Hanya itu yang dapat dia lakukan.
Dia mulai menangis. Di depan gerbang yang kokoh dan megah itu dia merasa kecil dan sangat tak berdaya. Seluruh harapannya hanya ada pada orang yang tinggal di dalam rumah ini. Takut, marah, cemas, dan putus asa, semua perasaan campur aduk dan hanya dapat di suarakan melalui air mata. Namun dia tetap melakukan apa yang dapat dia lakukan saat itu, terus menerus memanggil dan memencet bel.
Tindakannya mulai mengundang perhatian petugas keamanan di sana. Seorang satpam perumahan datang dan menanyai Elena. Beberapa penghuni rumah juga mulai bermunculan, dan dalam waktu singkat telah ada kerumunan kecil di depan rumah Adit yang memperhatikan Elena.
Elena menceritakan situasinya dan orang- orang itu mulai menaruh simpati kepadanya, beberapa penghuni rumah dan satpam yang berkumpul mulai membantu untuk memanggil Adit. Namun tidak ada reaksi dari dalam rumah. Melalui satpam itu Elena diberitahu bahwa rumah sebesar itu memang hanya ada Adit seorang. Dan kadang ada seorang pembantu yang hanya datang seminggu sekali.
“Mungkin Adit gak di dalam. Mungkin lagi keluar. Mobilnya gak ada, biasanya ada mobil putih di pekarangan.” Seseorang berkata.