Elena Kartini

rudy
Chapter #11

Bab 11 Lima Detik

Arus lalu lintas hari itu cukup lancar, mungkin karena bukan hari libur. Tidak sampai tiga jam mereka telah tiba di puncak pass. Udara yang segar memenuhi rongga paru- paru, membuat lupa akan penat dan sesaknya udara Jakarta yang penuh dengan timah hitam. Mereka duduk berhadapan di sebuah restoran terbuka, tempat nongkrong favorit mereka di puncak. Sebuah hot pot di letakkan di depan mereka, tercium wangi aroma sop kambing yang menggiurkan , dengan beberapa buah jagung bakar di atas piring. Sebuah bakul nasi yang masih setengah terisi diletakkan di samping piring jagung bakar.

 

Robby memperhatikan layar ponselnya, membaca seluruh pesan yang masuk. Dia baru saja membuka ponselnya setelah tertidur sepanjang jalan ke puncak, denting pesan yang masuk terdengar beriringan masuk.

 

“Dit, ini Elena sepertinya beneran serius loh urusannya.” Kata Robby dengan kening berkerut, beberapa pesan yang masuk semua adalah pemberitahuan mengenai Elena yang mencari Adit.

 

“Dia hubungin elo?”

 

“Dia hubungin semuanya. Ini dari Agung, Teguh, Tommy, semua nadanya sama. Mereka bilang Adit dicariin Elena, kayaknya penting.”

 

“Bagi dia ya pentinglah, lagi butuh. Bagi gue ya sebodo amat.”

 

“Teguh bilang mengenai tas selempang, dibawa sama elo. Lu ngambil tasnya Elena?” Robby memperhatikan Adit dengan kening berkerut.

 

Adit tersenyum sambil duduk bersandar bermalas- malasan menikmati udara sejuk di Puncak. Tak terlalu peduli dengan kata- kata Robby. Dia memperhatikan seluruh restoran itu, yang datang semuanya berpasangan. Hanya meja dia yang berpasangan dengan sesama jenis.

 

“Dit, lu nggak ngecek handphone lo? Mungkin lu dapat lebih banyak pesan lagi daripada gue.” Kata Robby sambil memperhatikan Adit, senyum simpul di wajah Adit menyemburkan egoisme yang tercium lebih kental daripada aroma sup kambing di depan mereka.

 

“Udah pasti lebih banyak, makanya gue malas buka. Mau ngapain lagi. Udah mau tengah malam ini. Lagipula besok kan kita udah pulang. Tenang aja pasti gue balikin tasnya. Cuma mau isengin bentar.”

 

“Gue takutnya beneran sangat penting Dit.”

 

“Emangnya urusan apa sih yang semalam aja gak bisa ditunda.” Kata Adit sambil tertawa meremehkan.

 

“Justru karena kita gak tahu itu urusan apa, menurut gue sebaiknya lu cari tau.” Kata Robby sambil mengerutkan kening. Dia kurang suka pada saat melihat Adit kumat egonya, saat Adit menomor duakan seluruh dunia demi kesenangannya sendiri.

 

“Gue gak tau urusannya. Tapi gue tau butuh tiga jam untuk balik arah ke Jakarta, dan nyampe sana udah subuh. Mau ngapain lagi? Mending nginap semalam, besok kita pulang dalam keadaan segar.” Kata Adit dengan santai, dia terlihat sangat menikmati udara pegunungan yang sejuk, dengan sebelah tangan memegang jagung bakar yang masih hangat.

 

Robby menghela napas dan akhirnya kembali menikmati sup kambing di hadapannya. Mereka hanya berdua, tidak ada gunanya bertengkar dan memaksakan pendapat sedangkan Adit yang punya mobil belum mau pulang.

 

Aditya hanya diam, merasakan angin pegunungan yang sejuk membelai wajahnya. Dia melemparkan pandangan ke lembah yang terletak di samping restoran terbuka itu , di kegelapan malam itu samar- samar masih terlihat sinar lampu mobil yang lewat menyusuri jalan yang berkelok menuju Puncak. Dari kejauhan terlihat meliuk liuk seperti kabel merah dan kuning di dalam peralatan elektronik.

 

Sekelompok gadis berjalan masuk ke dalam restoran itu, mata mereka berkeliling mencari tempat duduk yang nyaman. Mata mereka berhenti ke Aditya, yang duduk santai menatap ke arah lembah. Acuh tak acuh dengan se isi restoran itu. Wangi semerbak parfum mengalahkan aroma sup kambing ketika sekelompok gadis itu melewati meja tempat Adit dan Robby duduk. Robby hampir bersin mencium wangi parfum yang menusuk hidung itu. Ini pake parfumnya disemprot atau diguyur?

 

Lihat selengkapnya