Samar-samar Elena melihat sinar terang benderang, akan tetapi langit masih gelap. Sinar itu gemerlap, sebuah kereta kecil warna warni dengan lampu mengelilingi setiap sikunya, dia melihat banyak anak kecil duduk di atas kereta kecil itu, mereka tertawa bergembira. Namun tidak semuanya anak kecil, dia juga melihat sepasang kekasih, meskipun gemerlap cahaya itu menyilaukan mata Elena masih dapat mengenali keduanya. Ibu dan ayah, mereka ada di dalam kereta melambai kepada Elena. Mereka berdua tersenyum bahagia. Kereta itu berjalan pelan seakan menunggu Elena untuk ikut masuk dan merasakan kegembiraan bersama mereka. Elena melambaikan tangan seperti saat dia menghentikan kendaraan umum, berlari ingin ikut masuk. Kereta itu bergerak sangat perlahan, akan tetapi tak peduli secepat apapun dia berlari tetap saja tak dapat mengejar mengejar kereta itu. Semakin cepat dia berlari semakin jauh kereta itu di depannya. Ibu dan ayah masih di sana, melambai dan tersenyum. Kemudian perlahan, dengan semakin menjauhnya kereta, mereka memalingkan wajah nya ke depan, tidak lagi melihat Elena yang berlari mengejar di belakang. Kereta warna warni yang indah itu bergerak perlahan, seperti menantang dia untuk menghentikannya. Akan tetapi perlahan mulai menghilang ditelan cahaya yang gemerlap. Elena mulai menangis dan menjerit, Mama……..
Elena terbangun dengan keringat membasahi seluruh tubuh. Pandangan matanya masih nanar, semua serba samar-samar. Dia dapat merasakan kepalanya masih terasa berputar. Dia memaksakan diri untuk menegakkan tubuh, dan langsung meringis kesakitan. Ia merasakan sakit di hampir sekujur tubuh. Terutama kepalanya. Namun ingatan akan mimpi itu terlalu menakutkan baginya. Mimpi itu…apa artinya?
“Mamaa, maaaaaa.” Dia berusaha menegakkan diri, sekelilingnya terasa berputar namun dia dapat melihat bahwa dia bukan sedang di rumah. Dia berada di sebuah ruangan berwarna putih, dengan seprei berwarna putih polos. Mereka tidak punya seprei putih polos, mereka selalu memakai seprei dengan motif bunga dan tanaman agar kamar tidak terlihat terlalu membosankan. Dia melawan rasa sakit di seluruh tubuhnya dan berusaha turun dari ranjang.
“Pelan - pelan, jangan turun dulu. Tetap tiduran saja. Kamu masih sakit.” terdengar suara seorang pria dan sebuah tangan dengan halus memegang pundaknya, hendak mendorong Elena agar kembali berbaring.
Elena semakin takut, dia tidak mengenali suara itu. Sedangkan dia tidak bisa melihat dengan jelas, segalanya masih terasa berputar di penglihatannya. Samar - samar dia melihat wajah yang tidak ia kenali, kelihatannya seorang pria separo baya yang berpakaian necis dan mengenakan kaca mata. Dia segera menepis tangan yang memegang pundaknya. Selanjutnya dia mendengar suara orang berlari meninggalkan ruangan. Dan sebelum dia sempat turun dari ranjang kembali terdengar suara langkah kaki orang yang berlari memasuki kamar, kali ini beberapa orang yang tidak dapat ia lihat dengan jelas.
“Jangan turun dulu dek, adek belum bisa berdiri.” Sebuah suara wanita terdengar, sangat lembut namun tidak cukup untuk membuat Elena tenang. Elena mulai menangis, mimpi itu terlalu mengerikan untuknya. Dia berusaha menjerit, namun tenggorokannya terasa sangat sakit. Kembali dia merasa putus asa, mengapa hidupnya terasa demikian berat. Tak sekalipun dia mendapatkan yang dia inginkan, tidak sekalipun ada jalan mulus untuk dia lalui. Dan sekarang ini, Ibunya……dia kembali menjerit sekuat tenaga. Meskipun yang keluar adalah suara serak namun seluruh isi ruangan itu mendengar dia memanggil Mama. Elena teringat kejadian beberapa tahun yang lalu, ketika Ibunya hampir bunuh diri setelah lepas kendali dan memukuli Elena.
“Lena, Len, Mama di sini, mama di sini.”
Ruangan itu masih berputar di penglihatan Elena, namun suara yang terdengar itu adalah suara yang sangat dia kenal. Suara yang sudah dia dengar sejak pertama kali gendang telinganya dapat mengenali suara, dan sebuah pelukan hangat dengan pipi yang menempel di jidatnya adalah pelukan yang telah dia rasakan sejak dia masih mengenakan popok.
Elena kembali menangis, namun kali dengan penuh kelegaan. Dengan kedua tangannya dia memegang erat- erat leher orang yang sedang memeluknya itu, tak ingin melepaskan. Aroma Ibu kandungnya itu menghangatkan seluruh tubuhnya, dan membuatnya tenang. Dia tidak tahu dia ada di mana, namun asalkan ada Ibu di sampingnya, dia merasa bagaikan sedang berada di rumah. Tak lama setelah itu dia kembali tertidur dengan kedua tangannya masih merangkul leher Ibunya.
Selama dua hari berikutnya, ingatan Elena seperti terputus- putus. Ingatannya seperti saklar lampu yang sedang di mainkan, kadang gelap kadang terang. Peristiwa yang terjadi selama dua hari itu, semuanya seperti potongan gambar yang datang silih berganti. Dia dapat mengenali siang dan malam, hanya saja selama dua hari itu dia tidak pernah sadar cukup lama untuk dapat mengingat keseluruhan peristiwa. Namun dia cukup sadar saat Sherly datang dan membisikkan bahwa dia telah menelepon tempat kerjanya di pasar grosir, dan telah meminta ijin untuknya. Elena hanya diam dan tersenyum ketika mendengarnya, kata terima kasih masih kurang untuk menghargai kebaikan Sherly.