Jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi, namun panasnya tempat itu bagaikan di dalam oven. Pengap, penuh sesak, dan tidak ada udara segar yang dapat membuat paru- paru agak lega. Asap rokok dari para kuli panggul yang berjalan seliweran bagaikan asap kemenyan yang menggantung di langit- langit, tidak ada sirkulasi angin yang dapat menghilangkan asap yang menggantung itu. Dari jauh terlihat bagaikan kabut.
Adit melirik Ayahnya, butiran keringat sebesar kacang hijau telah mengalir di kening hingga leher. Kemeja batik yang dikenakan ayahnya telah basah oleh keringat. Sama saja dengan Adit, kaos lengan pendek yang dia kenakan tidak mampu menghindari hawa panas yang terkurung di dalam gedung ini.
Di depan sana Abangnya, Fahrid, sedang berbincang dengan pemilik toko. Tumpukan baju berkarung- karung yang di geletakkan sembarangan di sepanjang gang sempit itu tidak memungkinkan bagi mereka pergi bertiga ke sana. Akhirnya dia dan Ayahnya hanya dapat melihat dari ujung gang.
Fahrid harus berhati- hati, berjalan dengan berjingkat agar tidak menginjak tumpukan karung yang setiap saat dapat terguling berjatuhan. Wajahnya basah berkeringat ketika dengan selamat tiba di tempat Adit dan Ayahnya berdiri.
“Betul. Pagi sampai sore Elena kerja di situ. Bossnya hanya kasih waktu satu minggu untuk istirahat, sebelum dia mencari pengganti.” Fahrid tersengal- sengal, sangat jelas dia juga menderita oleh pengapnya udara di sana.
“Kita pulang dulu. Jangan bicarakan di sini.” Ayahnya memutuskan. Dan mereka segera berbalik tubuh meninggalkan tempat itu.
Adit diam seribu bahasa. Bayangan itu masih berulang- ulang muncul di kepalanya, wajah Elena yang babak belur, lengan dan kaki yang biru lebam. Dan Ibunya yang memeluk Elena sambil menangis meraung- raung. Dia, Aditya Hussain adalah kriminal. Tidak ada alasan yang cukup pantas untuk dia ucapkan. Dia hampir menghilangkan nyawa seseorang, dia nyaris menghancurkan kehidupan sebuah keluarga kecil, yang berjuang demikian keras demi sesuap nasi.
Masuk ke dalam mobil yang dingin dan sejuk setelah berjalan di dalam gedung itu terasa bagaikan minum air dingin setelah seharian berpuasa. Sejuk itu mengobati tubuh yang kepanasan, namun menambah beban pikiran di kepala Adit. Setiap hari Elena bekerja di sini, dan setelah selesai bukannya istirahat pulang ke rumah, namun langsung meneruskan bekerja di cafe. Tidak ada mobil yang dapat mendinginkan kepala Elena seperti yang dinaiki Adit sekarang, dan setibanya di cafe masih harus berusaha tersenyum pada saat ada langganan sombong yang memarahinya.
Tidak ada satupun yang bersuara selama perjalanan, semuanya tenggelam di dalam pikiran mereka masing- masing hingga tiba di rumah.
“Hari ini apa yang kamu lihat?” Ayahnya bertanya kepada Adit ketika mereka tiba di rumah. Nadanya dingin dan acuh tak acuh.