Elena memperhatikan wajahnya di dalam cermin. Hatinya cemas melihat ujung bibirnya masih bengkak membiru. Dahi kirinya juga masih ada sisa sedikit benjolan. Lengan kanannya masih terasa sakit ketika di ayun, keseleo di siku dan belum benar- benar sembuh. Namun ini sudah hari keenam. Besok apapun yang terjadi dia harus bisa ke pasar grosir jika tidak ingin kehilangan pekerjaan. Sialan, sekarang dia bahkan telah kehilangan gaji selama seminggu di dua tempat kerjanya. Hanya karena manusia brengsek itu, yang bahkan tak punya nyali untuk muncul di hadapannya.
Dia memperhatikan jam di dinding, sudah hampir jam dua siang. Ibunya belum datang membawakan baju. Harus ada yang mengurus segala macam dokumen untuk keluar dari rumah sakit. Dan terutama, harus ada yang bayar. Elena menghela napas panjang. Benar- benar sulit menjadi orang miskin, dia seperti tak punya hak untuk melemaskan otot agak lama. Lama beristirahat hanya akan membuat semua masalah bertumpuk di depannya, bagaikan sampah yang tiap hari menimbun semakin tinggi.
Akhirnya ada suara langkah kaki mendekat. Bergema di koridor depan. Tak lama kemudian pintu ruangannya terbuka, yang datang adalah sebuah kerumunan yang terdiri dari seorang dokter, seorang perawat, Abang dan Ayah Adit, dan yang terakhir adalah Adit sendiri. Ini adalah pertama kalinya si biang kerok itu muncul di hadapan Elena.
“Mama belum datang?” Dia bertanya kepada Fahrid yang biasanya mengantar dan menjemput Ibunya.
“Belum, tapi beliau bilang bahwa Elena ingin pulang hari ini. Gak usah cemas, kalau memang dokter bilang sudah boleh pulang, nanti kita yang atur semuanya.”
“Aku harus pulang.” Elena bergumam, setengah panik. Orang- orang ini tidak mengerti alangkah pentingnya pekerjaan itu baginya. Tidak mudah bagi Elena untuk mencari pekerjaan lain dengan gaji yang setara.
“Ayuk, adek, kita ke ruang rontgen dulu yah.” Si perawat itu membantu Elena berdiri.
Elena semakin panik. “Jangan, aku sudah nggak apa- apa kok. Aku harus pulang hari ini.”
“Harus diperiksa dulu. Lena jangan cemaskan apapun, ini tanggung jawab saya sebagai Ayah Adit. Pokoknya Elena jangan memikirkan yang lain, sampai Elena benar- benar sembuh baru kita pulang. Dan ada beberapa hal yang harus kita bicarakan setelah ini.” Ada wibawa dalam suara Ayah Adit yang membuat Elena terpaksa menurut, wibawa orang tua yang terbentuk dari perjuangan hidup puluhan tahun, sangat berbeda dengan suara anak muda yang berasal dari harga diri yang menumpang orang tua.