“Aku pulang.” Elena tersenyum sambil membuka pintu rumahnya. Tidak ada orang yang menyambut, karena Ibunya masih berjalan santai di belakangnya, sedangkan ia setengah berlari. Keseluruhan rumahnya hampir sama besar dengan satu kamar di rumah sakit tempatnya menginap selama hampir dua minggu, dan fasilitas di sana jauh lebih mewah. Namun hanya di rumah mungilnya ini dia merasakan kehangatan ketika masuk ke dalamnya. Di mana bahkan dinding pun bagaikan tersenyum menyambut ketika ia membuka pintunya.
Tidak ada tempat lain yang dapat memberikan perasaan yang sama dengan yang diberikan oleh rumah kita sendiri. Hal pertama yang dilakukan Elena adalah membuka tempat obat, dan dia tertegun melihat tumpukan obat yang cukup untuk berbulan- bulan.
“Ini siapa yang ngasih?” Tanya Elena ketika Ibunya memasuki rumah.
“Ayahnya Adit.” Jawab Ibunya.
Elena menghela napas. Dasar orang kaya, mungkin ini yang dimaksud dengan serahkan semuanya kepadanya.
“Ada banyak hal yang ingin mereka bicarakan dengan kamu.” Kata Ibunya sambil meletakkan beberapa bungkusan plastik berisi baju bekas di atas lantai. Keadaan rumah yang bersih dan rapih menandakan Ibunya tidak berhenti mengerjakan segalanya sendirian.
Elena tertegun, sepertinya Ibunya tahu banyak. “Mengenai apa Mah?”
“Obat-obatan itu mungkin akan menjadi yang terakhir.”
“Maksudnya apa Mah?” Elena keheranan melihat wajah Ibunya yang aneh, ada keraguan di dalam wajah Ibunya, namun juga ada rasa senang.
“Pak Hanafi, Ayahnya Adit, dia ingin menanggung seluruh biaya pengobatan therapy hingga Mama sembuh.” Kata Ibunya sambil tersenyum simpul, namun ada sesuatu dalam raut wajahnya yang membuat Elena tak bisa bergembira. Sinar mata Ibunya memperlihatkan kesedihan.
“Lalu? Kenapa Mama kelihatan sedih?”
“Mama cemas sama kamu, Pak Hanafi sempat bilang ada banyak hal yang ingin dibicarakan dengan kamu. Lena, jika Pak Hanafi nanti meminta kamu untuk melakukan sesuatu yang tidak kamu mau, kamu harus tegas menolak. Masa depan kamu masih panjang, jangan hanya karena Mama kamu mengorbankan diri sendiri.”
Elena tersenyum. “Tenanglah Mah. Pak Hanafi kelihatannya bukan orang jahat. Dari cara bicaranya, dia beda jauh sama Adit. Pak Hanafi sama sekali nggak sombong.”