Elena dengan gemas mengeluarkan seluruh senjata yang diberikan oleh Om Hanafi kepadanya. Sebuah kartu ATM , serenceng kunci rumah, dan sebuah kartu nama Om hanafi berisi nomor hp pribadinya. Dia seperti anak kecil yang sedang memamerkan mainan di depan temannya.
“Nah, sekarang percaya nggak luh?” Elena menunjukkan semua itu kepada Sherly yang terbelalak melihat semua itu. Sama seperti Elena, dia tidak merasa ini semua sebagai sesuatu yang nyata, sampai saat dia melihat semua bukti yang di letakkan Elena di depan hidungnya. Masih sambil berbaring di atas ranjang kosan Sherly meneliti satu persatu barang yang di lemparkan Elena ke atas kasur.
“Gila ini. Bokapnya gak takut kalo lu racunin anaknya sampai mati?” Tanya Sherly sambil memperhatikan kartu ATM itu. Dia tahu Elena belum pernah punya kartu ATM karena penghasilannya selalu habis dalam sebulan. Dan rencengan kunci ini, banyaknya anak kunci yang terikat di sana seolah untuk sel penjara di seluruh kota. Dan ada satu anak kunci yang besarnya hampir sama dengan linggis.
“Nggak lah, gue nggak sesadis itu.” Kata Elena sambil menghempaskan diri ke atas ranjang. “Tapi kalau bikin dia setengah mati boleh juga sih.”
“Trus, Adit udah tau soal ini?” Tanya Sherly.
Elena menggeleng pelan. Penuh keraguan karena pertanyaan itu mengingatkan dia akan kebodohannya sendiri. Kenapa dia tidak menanyakan itu kepada Om Hanafi?
“Trus lu gimana caranya ngasih tau dia?” Sherly kembali bertanya penuh rasa penasaran. Seolah sedang menikmati sebuah cerita yang sangat seru.
“Maksud gue, gue gak tau apakah dia udah tau atau belum. Sebelum lu nanya, gue bahkan nggak kepikiran, si cepak brengsek itu udah tau belum yah?”