Elena Kartini

rudy
Chapter #17

Bab 17 Kuliah

Elena menggeleng- geleng memperhatikan jadwal kuliah Adit yang bahkan lebih pendek dari menu kopi di cafe. 

 

“Masa jadwalnya hanya segini Sher?” Elena masih tak percaya. Hanya empat mata kuliah dalam seminggu.

 

“Lah iya. Itu di atasnya kan ada nomor mahasiswanya. Itukan nomor yang lu kasih gue. Kenapa lu heran? Dia tiap hari madol emang bisa ambil berapa mata kuliah. Kalo kuliah ya gini, makin jelek nilai lu makin sedikit mata kuliah yang lu bisa ambil per semester. Lulusnya juga makin lama. Si brengsek itu mungkin mau jadi mahasiswa abadi.”

 

Mereka masih berdiri di depan ruang administrasi di dalam kampus. Ini adalah pertama kalinya Elena masuk ke dalam kampus. Ternyata masuk ke kampus itu bisa dibilang bebas, selama nggak bawa bom dan pistol. Bahkan gak ada yang peduli.

 

Elena masih berdiri tercengang melihat jadwal kuliah Adit yang sangat sedikit. Hanya sepuluh jam dalam seminggu. Hanya empat hari dalam seminggu yang ada jadwal kuliah. Masing- masing hanya dua setengah jam, masa sih hanya sesedikit ini pun dia tak mau masuk?

 

“Udah kan? Gue tinggal yah. Bentar lagi kelas gue mulai ini.” Kata Sherly sambil memperhatikan jam di dinding kantor administrasi.

 

“Loh, lalu gue gimana?”

 

“Ya lu kan tinggal jalan keluar. Tenang aja, gak bakalan ada yang peduli lu mahasiswi atau bukan. Lu masuk ke kelas juga gak ada yang peduli. Yang penting gaya lu harus kayak mahasiswi, dan kalo beli makanan di kantin jangan nawar. Dah gue tinggal yah.” Sherly langsung menghilang di dalam kerumunan orang yang menggerombol di koridor gedung.

 

Masih sambil memperhatikan jadwal itu, Elena mulai menyesali keputusannya. Kelihatannya Sherly benar. Tidak akan mudah memindahkan pantat si brengsek dari cafe ke bangku kuliah. Misi terancam gagal bahkan sebelum dimulai. 

 

Dia melihat ke sekelilingnya, dan dalam sekejap melupakan kekesalan hatinya. Sudah lama dia bertanya- tanya mengenai bentuk di dalam kampus yang setiap hari dilewatinya ini. Dan sekarang dia sungguhan berada di dalamnya. Peduli setan dengan si cepak, sekarang gue anggap jalan- jalan aja di kampus. Dia mulai berkeliling sambil berpikir, alangkah ironisnya. Bagi sebagian orang kuliah itu adalah mimpi, dan bagi sebagian mahasiswa kuliah itu dianggap membosankan. Dia merasa seperti berada di panggung sandiwara dengan peran yang tertukar dengan pemain lain.

 

Taman berjajar dengan rapih, koridor terbuka yang memisahkan antar gedung selalu terlihat sejuk dengan banyaknya pohon kiara payung dan palem yang berjejer rapi. Terlihat bersih dan resik. Di beberapa pucuk pohon bahkan terlihat sarang burung, menciptakan ekosistem yang sempurna untuk bernaung di bawah pepohonan itu. Beberapa kelompok mahasiswa dan mahasiswi bergerombol di bawah rindangnya pepohonan, berbincang dan tertawa. Ahh, seandainya saja dia memiliki kesempatan seperti ini. Tidak akan ada seharipun dia bolos kuliah.

 

Dikejauhan dia melihat sebuah bangunan beratap rendah yang hanya satu lantai, namun luas dan tidak bertembok. Keadaan di dalamnya langsung terlihat dari luar. Kios-kios kecil berderet-deret, dengan bangku dan meja yang disusun rapat memenuhi ruangan besar di dalam gedung itu. Rupanya seperti ini kantin mahasiswa. Sederhana, namun bersih dan segar karena ruangannya terbuka. Meskipun keadaan kampus ini tidak sama dengan bayangan di dalam kepalanya yang semuanya serba mewah, namun setelah melihat kampus yang nyata bahkan membuat dirinya semakin menyukai lingkungannya.

 

Dia teringat kepada jadwal kuliah Adit. Si brengsek itu sebentar lagi seharusnya masuk kelas, dan kemungkinan besar dia belum tahu bahwa rekening lamanya telah di blokir oleh Ayahnya. Menarik untuk melihat seperti apa wajahnya nanti saat mengetahui hal itu.

 

Dari jauhpun dia sudah melihat mobil putih yang diparkir di depan cafe. Rasanya sangat aneh. Dia tidak melakukan kesalahan apapun, namun dia harus mengumpulkan keberanian untuk mendorong pintu cafe itu. Pintu yang sama dengan yang telah ratusan kali dibuka olehnya. Cepat atau lambat Adit akan tahu. Makin cepat tahu makin baik. Seharusnya dia yang malu, bukan gue. Seharusnya dia yang takut, bukan gue. Gue gak salah kok. Berulang kali dia berperang di dalam batinnya. Setelah berhasil memenangkan peperangan batin dia mendorong pintu itu hingga terbuka. Seperti biasa, ruangan kecil itu terasa agak bergetar pada saat pintu terbuka agak keras. Dan seperti biasa, meja yang paling ujung selalu diisi tamu yang sama.

 

Semua yang duduk di meja ujung menoleh menatapnya, namun kali ini tidak ada yang tersenyum. Ada Adit, Robby, Agung dan Teguh. Tidak ada yang tersenyum karena semua masih merasakan tragisnya malapetaka yang belum lama berlalu. Dan pemain utamanya sekarang berada di depan mereka. Ini adalah pertama kali mereka melihat Elena setelah malapetaka itu. Semuanya terlihat grogi ketika Elena berjalan mendekat dengan mata terbuka lebar menatap Adit. Bahkan lalatpun terbang menjauh, bagaikan ada hawa maut yang mendekat.

 

“Tumben siang.” Adit berusaha mencairkan suasana. Sedetik kemudian langsung menyesali pertanyaan bodohnya. Tentu saja siang, sekarang Elena kehilangan pekerjaan di pasar grosir, berkat Adit si pandir bodoh yang bersikap seperti anak kecil. Pikiran itu langsung membuat Adit mengkeret, tak mampu membalas pandangan mata Elena. Dia hanyalah seorang pendosa di depan Elena, bagaikan penjahat yang duduk tak berkutik di bangku terdakwa.

 

“Dit, ikut gue.” Elena memasang wajah serius, dia sama sekali tidak peduli dengan air muka teman- teman Adit yang tegang dan saling bertukar pandang. Elena tidak tahu, bahwa saat dia kebingungan untuk mencari kata- kata yang tepat, yang dirasakan oleh Adit dan teman- temannya adalah suasana yang sangat mencekam. Mereka bagaikan sedang melihat tabrakan mobil dalam gerak lambat, mata mereka terbelalak tanpa kedip dan tegang menunggu tabrakan itu terjadi.

 

Adit bertukar pandang dengan teman- temannya, namun bukan dukungan yang dia dapatkan. Pandangan mata dari teman- temannya seperti mengusir dia agar cepat pergi mengikuti Elena.

 

Adit berdiri, dia tak punya pilihan lain selain menurut kepada gadis mungil di depannya, dengan tatapan mata yang terasa bagaikan menguliti seluruh kulit wajahnya.

 

“Di mana tas kuliah lu?” Tanya Elena.

 

“Ya ampun. Lu ada umpetin apa lagi di tas lu Dit?” Robby terhenyak duduk di kursi, matanya melotot menatap Adit. Temannya yang lain juga melotot dan menggeleng- geleng sambil memperhatikan Adit.

 

“Loh. Nggak. Gue kaga ngambil apa-apa. Len, sumpah, gue gak akan pernah lagi ambil barang orang lain. Gue udah kapok.” Wajah Adit tegang. Dia benar- benar tak berkutik di depan Elena, perasaan bersalah itu sampai detik ini masih menghantui dan melunturkan harga dirinya. Bagaikan cat dinding yang disiram bensin.

 

“Ambil dulu tas lu.” Elena hanya berkata perlahan, namun yang didengar oleh mereka adalah sebuah perintah yang tidak terbantahkan.

Lihat selengkapnya