Cuaca yang panas membuat siapapun merasa gerah untuk duduk di dalam kantin, namun tidak cukup gerah untuk membuat kantin itu sepi. Orang berlalu lalang dengan ransel di punggung dan piring makanan di tangan menjadi pemandangan yang menutupi sekeliling Elena. Sekaligus menutupi sirkulasi angin dan membuat tempat duduk mereka semakin panas. Sayang sekali tatapan mata yang dingin dari Adit tidak sanggup untuk membuat tempat itu lebih sejuk.
“Kalau lu gak mau makan urusan lu yah. Salah lu sendiri.” Kata Elena dengan tenang. Dia asik sendiri melahap sepiring nasi dengan ayam goreng. Sebuah piring berisi menu yang sama terletak di depan muka Adit, utuh tak tersentuh.
Adit masih merasa terluka, dia merasa seperti ditelanjangi ketika ditertawakan seisi kelas. Tapi anehnya dia tak bisa marah atau mengamuk kepada orang yang menyebabkan dia ditertawakan. Setiap kali mata mereka saling bertemu selalu Adit yang akhirnya melengos. Mata yang terang dan berapi itu menelan mentah- mentah seluruh emosinya, bagaikan lahar yang menelan sebungkus arang.
Dan makanan ini, apa- apaan ini kenapa malah Elena yang traktir? Jika benar Elena bekerja kepada Ayahnya, maka Adit adalah anak Boss nya. Mana pantas malah Elena yang bayar? Adit merasa harga dirinya terinjak- injak, namun sekali lagi, dia tak bisa begitu saja mengamuk dan memaki gadis mungil berkuncir ekor kuda ini.
Dia memperhatikan Elena yang dengan santai menikmati makan siangnya, seakan tidak ada yang terjadi di luar kebiasaan. Seolah perkara Adit ditertawakan adalah hal yang wajar, sewajar jatuh itu pasti ke bawah. Kepercayaan diri yang dipancarkan oleh Elena demikian kental hingga membuat Adit heran.
“Kapan lu ketemu bokap gue?” Adit bertanya dingin.
“Bukan urusan lu.” Jawaban Elena jauh lebih dingin.
“Kali ini gue ngomong demi kebaikan elo. Gue nggak tau isi pembicaraan antara lu sama bokap gue. Tapi apapun perjanjian antara lu sama bokap gue, lu jangan harap bisa ngubah gue. Dan jangan salahin gue kalau gue gak ngebantu lu dalam hal ini.” Kata Adit dengan dingin.