Aroma bensin tercium pekat ketika Elena turun dari mobil. Cuaca cerah, namun sama sekali tidak panas. Matahari masih bersinar manja dan hanya menghangatkan kulit. Dia kembali masuk ke dalam mobil setelah membayar bensin.
“Tuh, lihat. Nyampe kampus udah telat lu. Tidur mirip kebo, bangun mirip kucing.” Elena menunjuk jam digital di dalam mobil. Kedua alisnya bertemu di tengah. Dasar orang gak tau diuntung.
“Gue gak pernah telat. Dosennya yang datang kepagian.” Adit membantah.
“Lu yang nggak niat kuliah. Kalo nongkrong rajin.”
Adit tidak menjawab, hanya tangannya yang bergerak membesarkan volume radio yang menenggelamkan suara Elena. Mereka semakin terlambat akibat sulitnya mencari tempat parkir di dalam kampus. Mobil- mobil yang berderet bagaikan kepingan puzzle yang bertaburan tak beraturan, hampir bisa di sebut saling bertumpuk tanpa menunjukkan ada jalan untuk masuk dan keluar dari tempatnya.
Ketika masuk ke dalam kelas seluruh kelas menoleh dan memperhatikan, pelajaran telah di mulai dan lagi- lagi Adit memaksa Elena untuk ikut masuk.
“Kalo lu kabur gimana? Nggak makan siang dong gue. Kalo lu gak ikut masuk, gue yang ikut elo di depan.”
Elena mengalah dan ikut berjalan masuk ke kelas. Dari ujung matanya dia mengenali beberapa anggota tim hore yang melihat dan menertawakan mereka. Dosen yang sedang mengajar sama sekali tidak menghiraukan, tetap meneruskan materi pelajaran yang telah setengah diberikan tanpa mempedulikan Elena dan Adit. Bahkan tidak menanyakan nama maupun kenapa mereka terlambat.
Elena teringat lagi kata- kata Sherly, ‘lu masuk kelas juga gak ada yang peduli”. Sekarang dia mulai mengerti, perbedaan sekolah dengan perguruan tinggi. Ketika di sekolah, murid dianggap masih labil sehingga segudang peraturan di buat untuk menertibkan murid. Di perguruan tinggi sebaliknya, mahasiswa dianggap sudah cukup dewasa sehingga peraturan di buat longgar. Mau belajar atau tidak, mahasiswanya sendiri yang menentukan. Dosen hanya melakukan tugasnya, menyediakan ilmu pengetahuan.
Kursi yang mereka duduki belum terasa keras ketika kelas berakhir. Terasa sangat cepat karena mereka telah kehilangan hampir setengah dari waktu kuliah.
“Kalo tau gini kita naik bus aja tadi. Jauh lebih cepat.” Elena agak ngedumel.
“Bus? Santai aja yang penting kan gue isi absen.”
“Santai?” Elena tidak habis pikir, dengan sedikitnya mata kuliah yang bisa diambil, anak brengsek di depannya ini masih bisa bersantai ria.
“Iya, santai aja. Ngapain lu yang pusing sih?”
“Gue nggak pusing. Gue hanya takjub, gue pernah ngeliat kucing yang lebih rajin daripada elo. Juga pernah liat anak kecil yang lebih dewasa daripada lo.” Elena menggertakkan gigi dengan kesal, dia sangat tidak menyukai orang yang bermalas- malasan seakan waktu berhenti dan umurnya tidak akan bertambah.
“Itu urusan lu. Gue kan nggak suruh lu liat.”
“Oh, lu yakin itu hanya urusan gue? Coba lu jawab lagi, lu yakin itu bukan urusan lu?” Elena melotot, matanya mulai berapi- api.
“Ayu kita makan. Gue udah tepatin janji kan, masuk kuliah?” Kata Adit, tidak mempedulikan Elena yang emosinya mulai tergelitik.
“Lain kali kalo lu hanya masuk setengah kelas, makanan lu juga hanya setengah.” Elena mengancam.
“Belum kelar berantemnya?” Agung berjalan mendekat sambil tertawa melihat mereka berdua. “Len, hebat juga luh. Asal lu tau, sejak awal semester ini pertama kali dia masuk kelas ini.”
“Mulai sekarang dia akan masuk terus. Kalau nggak ini akan jadi hari terakhir dia ngerasain makanan.” Kata Elena dengan ketus. Dia berjalan mendahului ke arah kantin, meninggalkan Adit dengan teman- temannya yang masih menertawakan.
“Gue nggak bisa makan cabe hijau. Ada semacam bau yang gue gak tahan. Seperti bau obat.” Kata Adit dengan gaya seperti jijik mendorong piring ayam goreng yang ditaburi sambal ijo.
“Kenapa nggak ngomong dari tadi?” Elena mendelik kesal. Kantin yang panas itu terasa semakin panas, orang penuh sesak dan berjejal di depan kios makanan. Siku tangan harus dirapatkan saat duduk dan menyuap makanan.
“Lu kan juga gak nanya.”