Senja baru saja berganti malam ketika tiga orang sahabatnya mampir dan mengacak- acak rumah Adit. Mereka bagaikan anjing pelacak yang menginvestigasi seluruh pojok rumah sebelum akhirnya duduk anteng di depan peralatan play station. Hanya Robby yang masih sibuk di ruang makan, suara kulkas dan lemari yang dibuka dan ditutup diiringi dengan teriakan kecewa.
“Gak salah? Whoi Dit, lu lagi diet? Masa kulkas cuma ada telur? Ada selai kacang tapi gak ada roti. Ada minyak goreng tapi gak ada nugget. Trus apaan nih, banyak amat bayam, tomat, labu. Lu mau jadi kambing? Masa sereal aja gak ada?” Robby berteriak penuh rasa kecewa.
Adit hanya melirik sebal. “Baguskan buat lu? Sekarang kalo mau kurusin badan lu ke sini aja.”
“Waduh. Kalo begini caranya gue mending gak usah jadi kurus. Ini jadi kurus yang gak sehat. Buset masa cuma ada air putih di kulkas? Masa soft drink sekalengpun gak ada? Yang ada sedikit busa gitu loh.”
“Lu campur sabun aja kalo mau berbusa.” Kata Adit dengan ketus. Pikirannya melayang kepada gadis mungil yang bawelnya melebihi emak- emak setiap kali mereka pergi belanja.
“Lu lagi datang bulan yah? Mood lu jelek amat?” Kata Teguh sambil memperhatikan layar TV tempat dia masih bertanding bola dengan Agung.
“Eh, gimana mau mood bagus kalo diingetin soal kulkas gue yang sekarang gak ada cemilan.” Kata Adit.
“Loh. Kenapa lu gak beli?”
“Hah? Minta beli cemilan gitu sama Elena? Sekedar lu tau yah, rampok bank lebih gampang daripada ngarepin dia beli gituan. Bagi dia gak ada yang namanya makanan ringan. Pokoknya kalo mau makan harus sekalian kenyang.”
“Waduh. Kalo semua orang mikirnya begitu pabrik snack tutup semua dong.” Kata Robby. Setelah setengah jam di dapur dia hanya mendapatkan beberapa potong kue bolu yang agak tersembunyi di pojok kulkas. Bagi Robby ini hanya remah makanan.
“Ya memang. Elo lagi, mau nyari soft drink. Bisa- bisa disuruh campurin air putih, gula pasir sama rinso. Tapi aneh, kalo duduk di warung pojok minum apapun dia gak masalah. Makanya gue banyakan nongkrong di sana.” Kata Adit sambil selonjor di atas sofa. Suara lonceng yang bergema di dalam rumah menandakan telah pukul tujuh.
“Kalo billiar gimana? Masa sekali- kali dia gak ngasih. Lu bilang sama dia, manusia kalo gak pernah refreshing jadi cepet tua.” Agung bertanya.
“Iya, lu udah lama sekali gak ikutan nimbrung di tempat billiar.”
Adit hanya menghela napas. Kadang dia sendiri juga heran, dia merasa kesal karena sekarang lehernya bagaikan dikalungi tali lasso. Namun di samping itu dia juga tak pernah merasa kekurangan hiburan. Betul bahwa dia tidak sebebas dulu, namun dia juga tak pernah kesepian. Dunianya sekarang selalu penuh dengan pertengkaran kecil yang membuat hari- harinya selalu ramai. Bahkan di dalam rumah ini, yang biasanya hanya terdengar detak jarum jam, sekarang hampir setiap hari selalu ada suara bising yang melengking tinggi. Cerewet bagaikan burung perkutut di pagi hari dan tidak bisa diam bagaikan kunang- kunang di malam hari.
“Enak ini bolunya. Lu beli di mana Dit?” Dua potong bolu itu bagaikan camilan yang hanya nyangkut di gigi bagi Robby.
“Beli? Setelah lu tau pelitnya itu nenek sihir, menurut lu mungkin nggak dia mau beli kue? Ini bikin sendiri.”
Robby tercengang.”Ini dia yang bikin?”
Adit mengangguk. “Iya. Dia bilang beli jadi mahal. Mending bikin sendiri. Pusing gue denger dia seharian berisik di dapur. Lebih pusing lagi waktu mau pulang denger dia teriak- teriak minta di anter.”