Segaris cahaya yang masuk melalui sela- sela gorden kamarnya menandakan hari baru akan dimulai. Segaris cahaya itu cukup untuk menerangi kamar Adit, namun tidak cukup untuk membuatnya terbangun. Garis cahaya itu jatuh di sebuah miniatur motor besar yang menjadi impian Adit, membuatnya berkilau dengan indah dan membuat Adit makin betah berada di dalam alam mimpi. Masih ada waktu sebelum gangguan kronis itu datang dan membuyarkan seluruh mimpi indah yang masih menggantung di angan- angan.
Sayup-sayup terdengar suara besi beradu yang pelan, kemudian terdengar suara yang lebih berat, gesekan pintu besi dengan beton di di bawahnya. Adit mengeluh, Belanda makin dekat. Tepat saat terdengar pintu depan di buka, suara melengking itu langsung menggetarkan gendang telinganya.
“ADIITT !!”
Adit menarik selimut hingga menutupi kepala, berusaha menjaga agar kabut mimpi di kepalanya tidak terlalu cepat pergi. Namun suara- suara lemari dan kulkas yang dibuka, kompor dinyalakan, gelas yang beradu dengan sendok, meskipun suaranya kecil namun cukup tajam untuk menembus selimutnya.
DANGGG
Bunyi apa itu, bergema dan membuat gendang telinganya hampir pecah. Adit menyerah dan keluar dari kamar. Dia turun ke bawah dan melihat Elena memegang wajan dengan tangan kiri, dan sebuah sedok besar dengan tangan kanan. Matanya bersinar- sinar senang melihat Adit turun dengan wajah kesal.
“Buruan mandi. Nih gue bawain kue.” Elene melemparkan sepotong bolu ke atas meja makan.
“Masa cuma sepotong?” Adit tahu, tiga kata itu sudah cukup sebagai bahan bakar untuk mendidihkan darah Elena. Dan untuk alasan yang dia sendiri tidak mengerti, dia senang melakukannya.
“Lu kalo nggak mandi sekarang, satu potongpun gak ada. Buruan mandi.” Kata Elena dengan ketus. Meski ketus, namun tangannya bergerak tanpa tertahankan saat melihat stoples kopi di lemari. Naluri pelayan cafe nya langsung menyala dan membuat dua cangkir kopi untuk mereka berdua.
Tepat saat Elena menyuguhkan satu cangkir kepada Adit, dia melihat plastik kosong bekas pembungkus kue. Elena menatap Adit dengan pandangan mata jijik, bagaikan sedang melihat bisul yang bernanah.
“Belum sikat gigi udah makan. Udah males, jorok pula. Buruan mandi sana.” Kata Elena dengan alis menyatu di tengah, dia makin kesal ketika melihat Adit seperti nya tak peduli. Dia berdiri dan melotot dengan mata berapi- api memperhatikan Adit, keningnya yang berkerut menandakan pikirannya yang sedang bekerja, mau mengancam Adit dengan apalagi? Setiap hari selalu begini, hingga ancaman pun rasanya sudah basi semua.
“Sabar. Kasih gue ngopi dulu. Lu juga sih, bangunin gue pake wajan. Roh gue masih kaget.” Kata Adit sambil menyeruput kopinya.