Ini adalah pertama kalinya bagi Elena melihat tempat billiar. Tempat luas yang penuh dengan meja berderet- deret, terasa remang karena lampu yang hanya menyorot di atas meja. Jika bukan karena riuh rendahnya suara tim hore yang telah akrab di telinganya, mungkin sudah sedari tadi Elena balik badan dan pulang ke rumah.
Elena duduk di atas sebuah bangku tinggi, dan dengan heran memperhatikan permainan di depannya. Terlihat mudah saat melihat yang lain menggunakan tongkat dan memukul bola putih untuk memasukkan bola- bola warna ke dalam lubang. Tapi saat dia mencobanya sendiri, dia bahkan tak bisa memukul bola putih dengan tepat. Dia hanya mengayunkan tangan seperti mengais udara.
Lebih ajaib lagi saat ia melihat Irwan, si rocker gagal, yang masih dapat memukul dengan tepat tanpa melepaskan kacamata hitamnya. Di ruangan yang remang seperti ini, entah bagaimana caranya Irwan masih dapat berjalan ke sana kemari tanpa tersandung kepada kaki meja maupun kursi yang telah pindah ke sana sini tak beraturan.
Akhirnya Elena hanya duduk di samping sambil memperhatikan mereka semua bersuka ria, merayakan berakhirnya masa ujian dan di mulainya masa liburan.
“Lu lapar atau haus nggak?” Elena menoleh ke arah suara, dan melihat Adit berjalan mendekat. Dalam keremangan hanya terlihat rambut cepaknya yang berdiri, bagaikan anti gravitasi.
Elena menggeleng, beusaha memicingkan mata untuk melihat lebih jelas. Cahaya lampu di belakang Adit membuat tubuhnya sepenuhnya terlihat hitam oleh bayangan. Adit meletakkan sebotol air mineral yang belum dibuka di tangan Elena.
“Gue bisa pesanin minuman, makanan, atau apapun yang ada di sini. Tapi elo yang musti bayar.”
Elena tertawa. “Dulu lu tiap hari di sini?”
“Hampir. Tapi sebetulnya bukan karena permainannya. Gue sering kesini karena suasananya.” Jawab Adit.
“Kalau lu bilang mau ke sini, gue kan bisa kasih lu duitnya. Gue gak perlu ikut.” Kata Elena. Dia agak heran karena tadi dipaksa untuk ikut.
“Hari minggu kok. Lu juga nggak ngapa- ngapain kan. Mending keluar, sekedar jalan- jalan.”
“Bagi lu jalan- jalan, bagi gue asalkan lihat lu perasaan kayak lagi kerja.”
Adit tertawa, dan berjalan kembali ke arah meja. Senandung lagu bernuansa metal bersahutan dengan bunyi bola billiar yang saling beradu. Elena melihat sekelilingnya dan menyadari, di seluruh ruangan besar itu dia adalah satu- satunya wanita. Tanpa menghitung beberapa karyawati yang lalu lalang mengantarkan minuman dan menyusun bola.