Roda mobil terdengar berbunyi pelan ketika meninggalkan jalan aspal yang mulus, menggilas debu dan batu halus di pelataran parkir sebuah restoran yang terletak tepat di samping lembah. Lampu mobil yang sempat menyapu pelataran parkir memperlihatkan lapangan yang hampir kosong. Hanya ada dua mobil lain yang di parkir di sana. Malam Senin, ketika sebagian besar orang mengakhiri liburan mereka, mereka justru menanjak ke Puncak dan menikmati udara segar yang minim timah hitam.
Elena melompat turun dari mobil dan menghirup dalam- dalam udara segar dan sejuk ala pegunungan. Samar- samar tercium aroma rumput liar bercampur dengan daun teh, menciptakan kesegaran yang sempurna. Suasana yang tenang dan alami sangat terasa ketika mendengar suara jangkrik yang sesekali diiringi bunyi kendaraan yang melintas. Elena sudah lupa kapan terakhir kali merasakan suasana pegunungan seperti ini.
Kesegaran udara masih bertahan, namun ketenangan langsung sirna ketika Sherly, Robby dan Teguh turun dari mobil. Sepanjang jalan mereka tidak berhenti berdebat mengenai hal yang tidak jelas, panjangnya perdebatan seperti mengenai mana duluan, ayam atau telur.
“Mereka ngomongin apaan sih?” Tanya Elena kepada Adit. Agak pusing karena ketiga orang itu nyaris tidak berhenti berkicau sepanjang perjalanan.
“Mungkin soal bumi bulat atau datar. Dari kota sampai gunung, berisiknya sama aja kayak lagi di warung pojok.”
“Lu gak ada kaca yah? Lu biasanya sama aja.”
Merka berjalan masuk ke sebuah rumah makan yang besar, dengan teras terbuka yang memiliki pemandangan ke arah lembah. Di malam hari itu, yang terlihat hanyalah jalan raya yang menyusuri lereng lembah, dengan lekak lekuk nya yang di sinari oleh lampu kendaraan. Dari jauh terlihat seperti tinta berwarna emas yang di goreskan di atas kanvas hitam. Udaranya yang segar seperti mengisi ulang seluruh tenaga yang selama ini terbakar di dalam pengapnya Ibukota.
Wangi aroma sop dan soto memenuhi rongga dada ketika pesanan datang, di padu dengan udara yang dingin menjadi sebuah undangan makan yang tak dapat di tolak.
“Kalo ke puncak, ini menu wajibnya gue.” Kata Robby.
Belum cukup dengan menu utama, tak lama kemudian datang jagung bakar. Robby menyebutnya sebagai ‘makanan kecil’. Jika setengah dari napsu makannya di amalkan kepada seluruh orang di meja, maka mereka harus menggunakan dua mobil untuk meneruskan perjalanan.
“Kalo ada dia enak. Makanan gak pernah ada sisa, gak mubazir.” Adit berbisik di samping Elena.
Elena mengangguk kecil dan tersenyum. Tidak penting apa yang dimakan, tidak penting pula apa yang dibicarakan, tidak penting apa yang akan terjadi besok atau apa yang telah terjadi kemarin. Bagi Elena, yang penting adalah saat sekarang, saat tidak ada hal penting yang perlu dilakukan selain duduk menghabiskan waktu dengan teman. Beberapa bulan yang lalu, semua ini adalah mimpi baginya.
Tidak ada yang peduli kepada jam, juga tidak ada yang peduli sekeras apa mereka bicara, karena suara mereka akan tertelan oleh lembah yang menganga di depan mereka, menjadi gaung yang merambat jauh ke dinding gunung di seberang yang tidak cukup dekat untuk memantulkan suara.
Mereka menikmati waktu santai dengan makan perlahan, sop di dalam panci tidak pernah menjadi dingin, senantiasa berasap dan berbuih di atas api kompor yang di nyalakan kecil. Sambil diiringi obrolan ringan dan canda tawa. Tidak produktif secara materi, namun mengisi jiwa yang telah lama kosong.
Tidak ada yang tahu jam berapa pada saat mereka tiba di Villa Robby. Juga tidak ada yang peduli. Ini liburan, kali ini waktu yang harus mengalah kepada mereka.
Angin semilir terasa dingin membelai kulit, namun tidak cukup untuk membuat menggigil. Waktu sudah cukup larut untuk membawa sebagian temannya ke alam mimpi, namun malam masih tersisa cukup panjang untuk duduk menikmati pemandangan bulan purnama di depan teras villa.
Elena duduk di bangku panjang teras yang terbuat dari anyaman bambu, merasakan kesegaran angin yang berhembus perlahan. Pohon mahoni yang bergoyang perlahan di keremangan malam terlihat seperti tarian golek yang lemah gemulai. Dia menikmati liburan singkat seperti saat ini, namun pikirannya melayang pulang ke rumah tanpa tertahankan.
“Gak dingin duduk disini?”
Sebuah suara yang sangat akrab terdengar di belakang Elena. Tanpa menoleh ia menggeleng. Kursi anyaman bambu di sebelahnya terdengar berderit ketika menopang beban tubuh Adit.
“Lagi mikirin apaan?” Adit kembali bertanya sambil mengaduk gelas berisi vitamin c. Denting suara dari sendok dan gelas yang beradu terdengar merdu, sangat enak didengar. Seperti dentingan musik dari kotak bedak di rumah Elena.
“Biasanya orang bawa oleh- oleh apa yah dari puncak?” Elena bahkan tak tahu apa yang merupakan khas oleh- oleh dari puncak. Ini adalah kedua kalinya dia ke puncak, yang pertama kali telah menjadi kenangan yang terpendam terlalu dalam hingga ia hanya ingat pernah ke puncak.