Bulan pertama semester baru, suasananya pun baru. Awan mendung mulai terlihat berarak, sesekali menutupi matahari. Angin yang bertiup mulai terasa lembab dan sejuk, seperti hawa pegunungan. Cuaca yang biasanya panas mulai terasa adem ayem, cuaca mulai berganti setelah hampir satu tahun tidak turun hujan. Pemanasan global telah mengacaukan semua jadwal perubahan iklim di negara tropis.
Masih jam satu siang ketika terdengar bunyi hujan membasahi bumi. Awan gelap yang bergumpal menutupi matahari, dalam sekejap mata keadaan menjadi remang. Jam satu siang terasa bagaikan jam enam sore. Tim hore masih duduk di dalam kantin, menghabiskan waktu setelah selesai makan siang sambil menunggu mata kuliah berikutnya yang akan dimulai tak lama lagi.
Suara rintik hujan yang masih kecil itu segera membuat heboh seluruh kantin. Semua mengerti apa artinya. Sederhana, jika hujan membesar mereka akan terkurung di kantin itu dan tak bisa ke kelas. Karena gedung kantin itu terpisah dengan gedung untuk kuliah.
Ratusan mahasiswa di dalam kantin secara serentak meninggalkan meja masing- masing, suasana menjadi agak rusuh.
Irwan si rocker kesasar, masih dengan mengenakan kacamata hitam ala slash berkata, “masih terang kok mendadak ujan?” Maklum, dia tidak mampu membedakan antara cahaya matahari dengan cahaya lampu yang sekarang dinyalakan di dalam kantin.
Elena berusaha bersaing dengan para lelaki yang tinggi- tinggi dan memiliki langkah kaki lebar, untuk segera tiba di gedung seberang. Akan tetapi bentuk fisik memang tak bisa berbohong, dia dan belasan mahasiswi lain yang berlari dari kantin akhirnya tertinggal. Hujan mulai membesar, gedung kuliah sudah di depan mata. Namun jalan menjadi tersendat karena ratusan mahasiswa yang berlari menyelamatkan diri dari air hujan secara bersamaan mengambil jalan di tempat yang tidak terkena hujan. Mereka mengendap- ngendap di bawah kanopi yang menutupi pinggir gedung, akibatnya jalan masuk ke gedung kuliah menjadi macet dan tersendat.
Elena dan belasan mahasiswi yang tiba paling akhir terpaksa berhenti di bagian gedung yang tidak memiliki kanopi. Meski tak berkanopi, akan tetapi tembok gedung yang tinggi itu sedikit menghalangi tetes hujan yang turun dengan agak miring. Di sisi tembok tinggi itu terlihat ada sekitar 30 cm tanah yang masih kering, pertanda kita masih bisa berteduh dengan merapatkan diri ketembok. Asalkan besar tubuh kita tak melebihi 30 cm.
Elena dan para mahasiswi itu segera berdiri di sana, merapat di tembok sambil berharap hujan tidak membesar. Kemudian dari arah gedung kuliah dia melihat Adit berlari mendekat, dia melepas jaket dan menggunakannya untuk memayungi dirinya. Dia berlari di bagian yang tidak berkanopi, menerima seluruh rintik hujan yang membasahinya, dan dalam waktu singkat tiba di samping aku.
“Kenapa gak manggil? Gue kira lo di belakang gue.” Tanya Adit.
Dia mengangkat jaketnya, tangannya melingkari pundak Elena, dia memayungi mereka berdua dengan jaketnya. Elena terbelalak, meski sering berduaan namun ini adalah untuk pertama kalinya dia dirangkul. Tubuh mereka saling merapat dan menempel untuk dapat berdiri di bawah jaket kecilnya. Semuanya berlangsung demikian cepat, Elena mendongak memperhatikan Adit yang sekarang basah kuyup karena berlari ketempat Elena.
“Lu ngapain balik, basah kuyup loh.”