Elena terbangun dalam kaget, dia merasakan keningnya disentuh. Ketika dia membuka mata, matahari yang menyilaukan membutakan matanya untuk beberapa saat. Setelah terbiasa dia mulai sadar, dia semalaman tertidur di ruang tamu Adit. Di atas sofa yang bahkan lebih empuk daripada kasur di rumahnya.
Wajah Adit yang sedang tersenyum berada tepat di depan mukanya, dengan telapak tangan yang mampir di jidat Elena. Untuk sesaat Elena tertegun, berusaha mengingat kejadian kemarin. Loh terbalik, yang sakit kan Adit.
Elena menegakkan tubuh, duduk di tepi sofa dan bertanya, “ lu udah sembuh?” Tanya Elena sambil menggosok kedua matanya yang masih agak buram.
“Makanya kemarin gue bilang lu jangan sungkan. Karena gue tahu, hanya mulut lu doang yang nggak sungkan. Ada empat kamar kosong, lu tinggal pilih mau tidur di mana, ngapain tidur di sofa.” Kata Adit.
“Lu udah mendingan, tapi belum sembuh. Dalam keadaan sehat lu jauh lebih cerewet.” Kata Elena sambil menyindir. Elena berdiri dan melihat dengan lebih jelas, Adit sudah dapat berdiri dengan tegak dan berjalan seperti biasa. Mungkin juga memang telah sembuh.
“Sini kepala lu, udah sembuh belum.” Elena menjulurkan tangan. Dengan sigap Adit menghindar dan berjalan menjauh. “ Eh sini dulu.” Elena kembali memanggil.
“Gue udah gak apa- apa. Hanya butuh istirahat satu hari lagi. Besok gue udah bisa bawelin lu lagi.” Kata Adit sambil tersenyum.
“Eh , jam berapa ini?” Elena tersentak kaget, teringat jadwal konsultasi dengan dokter mengenai Ibunya.