Butiran hujan yang turun mulai membesar, percikan air yang semakin tinggi mulai mengenai panel kaca cafe, dan saat butiran air itu turun yang tersisa di kaca hanya pemandangan yang bergelombang seolah kaca itu tidak rata. Tidak lama kemudian hujan turun dengan deras, sekarang bahkan mobil putih yang parkir di depan cafe terlihat buram oleh percikan air yang memenuhi kaca cafe.
Seharusnya suara hujan yang turun itu dapat terdengar dengan jelas di dalam cafe, namun bahkan alam tak mampu mengalahkan suara tim hore di dalam cafe. Dua belas orang yang terkurung di dalam cafe bagaikan sekelompok paduan suara yang menyanyikan lagu masing- masing, riuh rendah tak beraturan hingga guntur yang bertalu- talu hanya terdengar sayup- sayup. Seandainya suara itu memiliki massa, cafe ini tentunya sudah lama meledak berkeping- keping tak sanggup menahan volume suara di dalamnya.
“Pada curang ini, perasaan tiap kali gue hampir menang peraturannya berubah.” Sherly berteriak keras sambil memegang sederet kartu. Suaranya bergetar dengan tingkat desibel yang dapat menyaingi anggota tim hore. Berkat berbulan- bulan bergaul bersama tim hore kemampuan tarik suara seluruh pelayan cafe di warung pojok memang mengalami peningkatan. Jika suara tim hore bagaikan kaleng , maka suara mereka sekarang bagaikan galon plastik, hanya kalah tipis.
Batas-batas yang membedakan antara pelayan dan pelanggan juga semakin luntur, terutama saat malam. Saat Elena dan Sherly yang menjaga. Masih dengan seragam cafe, mereka duduk di meja pelanggan sambil bermain kartu. Suara guntur bertalu- talu yang memekakkan telinga hanya terdengar seperti orang berdehem di dalam cafe itu. Cafe itu ramai suara, namun minim omset.
Satu-satunya pembeli yang masih tahu diri memesan hanya Maya, itupun dia terpaksa bangun berdiri dan membuat minumannya sendiri. Dia membuka mixer, mengambil potongan es batu, creamer, perasa dan sebagainya, sesuai yang pernah diajarkan oleh Elena dan Sherly, kemudian membuat dua gelas milkshake. Setelah itu meletakkan uang di meja kasir sambil mencatat minumannya di kertas memo. Pesan sendiri, bikin sendiri, dan bayar sendiri. Kedua pelayan resmi di cafe itu sibuk main kartu, tak ada waktu untuk melayani pelanggan.
Namun Maya senang, dia melakukannya dengan senyum, dan dada yang berdebar- debar. Nampan yang berisi dua gelas minuman itu agak bergetar, sambil berjalan ke meja ujung dia mengumpulkan keberanian. Maya tak pernah membayangkan bahwa suatu saat dia akan punya keberanian untuk melakukan ini, dengan tersenyum ia meletakkan satu gelas milkshake ke depan Adit. Tangan itu agak gemetar ketika memikirkan akan seperti apa reaksi Adit.