Elena Kartini

rudy
Chapter #30

Bab 30 Undangan

Satu semester kembali lewat tanpa terasa. Burung- burung belum meninggalkan sarangnya ketika sebuah rumah yang berpagar kuning emas menunjukkan tanda- tanda kehidupan yang agak extreme. Sebuah suara yang bagaikan lonceng raksasa ditabuh terdengar bergema, namun tidak membuat takut sepasang burung gereja yang berkemah di atas pohon akasia yang terletak di depan rumah itu. Sepasang burung itu sudah terlalu biasa dengan suara yang bagaikan lonceng itu, sejak melihat seekor mamalia mungil dengan kepala yang bagaikan ekor kuda memasuki rumah, mereka sudah bersiap- siap untuk mendengar suara lonceng. Lonceng itu sekarang menjadi pertanda bagi mereka bahwa ini sudah waktunya bagi mereka untuk melanglang buana mencari makan. Tak lama kemudian mereka terbang meninggalkan sarang, bebas lepas tak terikat, namun selalu kembali ke sarang setiap senja.

 

Yang terjadi di dalam rumah itu adalah kebalikannya, ada satu mamalia yang hidupnya terikat kepada yang lain. Badannya lebih besar, dan jelas lebih kuat, namun saat ini matanya yang berapi dan melotot tajam seperti tak berdaya, ditelan bulat- bulat oleh sepasang mata bulat polos yang sejuk. Bagaikan batu karang yang hendak memecah air.

 

“Kenapa? Kapan lagi kita bisa sekalian liburan?” Adit melotot, ia tidak mau menerima sebuah amplop yang diletakkan oleh Elena di depannya.

 

“Gue gak mungkin tinggalin nyokap sampai seminggu lebih.” Elena menjawab lirih. Matanya yang bulat menatap Adit tanpa kedip. Matanya mengandung pertanyaan, seharusnya Adit senang karena dia bisa berlibur dengan bebas. Uang yang ia taruh di atas meja adalah uang saku Adit untuk beberapa bulan, bahkan cukup untuk liburan di luar negeri.

 

Adit menghela napas dengan kesal. Dia tidak pernah merencanakan untuk memenuhi undangan Agung sendirian. Rencananya bersenang- senang di Bali adalah dengan mengikut sertakan Elena. Apa serunya kalau gak ada si nenek bawel yang bisa bikin kuburan serasa pasar malam?

 

“Ok, gini aja, berapa hari lu bisa ikut? Seperti biasa, duitnya lu yang pegang.” Adit mengembalikan uang itu kepada Elena.

 

“Dit, gak bisa gitu lah. Ini kan undangan si Agung. Kalo lu pulang duluan karena gue, itukan bikin gue gak enak sama Agung.” Kata Elena sambil memperhatikan Adit. Dia semakin heran karena Adit yang kelihatan seperti orang kebingungan.

 

“Agung juga ngundang elo Len. Makanya lu harus ikut.”

 

“Soal itu nanti gue pasti ngomong sama Agung. Lu kenal gue begitu lama, seharusnya lu tau, gue cuma berdua sama nyokap. Gue takut kalo nyokap kenapa- napa gak ada yang tolongin. Untuk apa gue jauh- jauh ke Bali kalo pikiran gue selalu ke rumah?”

 

Adit diam. Bagi Elena, Ibunya adalah segalanya. Adit tahu mengenai itu, kata- kata Elena menyadarkan Adit, bahwa sesungguhnya yang sedang berbicara dengan keras adalah ego di dalam dirinya sendiri. Dia ingin Elena ikut adalah demi dirinya sendiri, bukan demi Elena.

 

Adit kembali teringat kejadian setahun yang lalu, saat egonya hampir mencelakakan Elena dan Ibunya. Dalam sekejap mata dia langsung melunak ketika ingatan itu berkelebat di benaknya. Ia sudah bersumpah hal yang sama tidak akan terulang, ia tidak mau lagi salah langkah dan menjadi si pandir yang egois.

 

Elena duduk di seberang meja makan. Tangannya masih menggenggam sebuah undangan berwarna krem yang mengeluarkan aroma vanilla. Di atas undangan itu tertulis nama adik Agung yang akan melangsungkan pernikahan di Bali, dan di bawahnya nama orang yang di undang.

 

To: Aditya & Elena.

 

Mata Elena berulang- ulang memperhatikan letak namanya yang di belakang Adit, dia melirik Adit yang kelihatannya tidak memperhatikan itu. Apakah seperti ini hubungan mereka berdua di mata yang lain? Ada perasaan resah dan gelisah melanda hati Elena. Sialan, mungkin yang tulis undangan juga ga berpikir sejauh itu, tapi malah membuat Elena galau.

 

***

Adit : kita masih di ruang tunggu. Ngantuk. Pesawatnya delay

Elena : gue kira lu mau nanya ukuran baju gue

Adit : buat apa gue nanya?

Elena : eh cepak brengsek, lu sebaiknya jangan pulang kalo gak bawain baju joger. Adit : masalahnya kebutuhan hidup di Bali termasuk tinggi. Duitnya belum tentu  cukup

Elena : eh pelit, duit lu cukup buat isi kulkas rumah selama setahun. Pokoknya baju  joger, ukuran gue S. Jangan sampai waktu pulang rumah lu gak ada kulkas.  

 

“Kalo gue liat lu lama- lama bisa gila Dit.” Dengan mulut mencibir Robby memperhatikan Adit yang senyum- senyum sendiri melihat layar ponselnya.

 

Adit sekarang malah tertawa. Tak peduli dengan kata- kata Robby. Ruang tunggu bandara itu telah penuh sesak akibat penerbangan yang terlambat. Mereka semua duduk berdekatan, mengisi dua buah bangku panjang yang beradu punggung. Dia duduk di ujung bangku dengan Robby berada di samping kirinya. Di samping Robby ada Astrid dan Maya yang belakangan selalu ikut kemana pun mereka pergi. Tepat di belakang mereka adalah Irwan dan Tommy. Di samping Tommy duduk Teguh, yang dengan gaya yang flamboyan membalikkan badan berbincang panjang lebar dengan Astrid dan Maya. Agung sudah lebih dulu pulang kampung, bersiap untuk menjemput mereka di Bali. Tak lama kemudian panggilan naik pesawat berkumandang, mereka bertujuh berdiri dan mengikuti antrian. Dengan penuh semangat menyongsong liburan mereka di pulau dewata.

 

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam ketika mobil Agung berhenti dan menurunkan mereka di sebuah jalan kecil. Mereka menurunkan barang dan berjalan menyusuri jalan kecil, tak sampai satu menit mereka tiba di depan sebuah gerbang berwarna coklat. Pintu di buka, dan mata mereka langsung dimanjakan oleh sebuah kolam renang berbentuk bulat di bagian depan, dengan lampu berwarna kuning di bagian kiri dan kanan menyinari kolam itu, menimbulkan bayangan warna air yang menjadi keemasan. Bagaikan cermin tembaga yang bergelombang. Sebuah jalan setapak berada di sebelah kiri kolam itu, setengah lingkaran membawa mereka menuju sebuah teras terbuka yang di lengkapi dengan beberapa kursi malas dan meja bundar kecil. Bahkan dengan melihatnya pun semua sudah merasa malas untuk bergerak melangkah. Terlihat sangat sempurna untuk berenang kemudian tidur- tiduran di kursi malas itu.

 

Setelah melalui teras mereka melihat sebuah ruang tamu, atau mungkin juga ruang keluarga. Dengan sebuah televisi layar datar, dan dua buah sofa panjang yang di susun berbentuk L. Setelah itu terlihat ruang makan, dengan meja bundar yang besar, dan sebuah dapur mungil yang cantik. Empat buah kamar tidur seperti mengelilingi ruang makan tersebut. Dan masih ada dua kamar tidur di lantai atas, kamar tidur yang tersambung dengan balkon yang terbuka. Wisma itu seperti menjamin, kata monoton akan hilang jika Anda tinggal di dalamnya. Masih belum cukup dengan itu, setiap kamar tidur memiliki dua ranjang terpisah, televisi dan kamar mandi yang sangat bersih di dalamnya. Dan masing- masing ranjang itu cukup besar untuk dua orang. Masih belum cukup? Ada wifi gratis di dalam wisma itu.

 

“Gila baru kali ini gue liat home stay bagus kek gini.” Adit terbelalak mengagumi alangkah cantiknya wisma yang di sediakan oleh Agung.

 

“Gue kan udah bilang, kalo mau ke Bali lo musti ngomong sama gue. Gue tau wisma yang bagus dan murah. Tempat ini gue udah kenalin banyak orang, belum ada yang kecewa. Semua puas.” Agung menyombong. Akan tetapi kali ini tak ada satupun yang membantahnya.

 

Dua kamar yang berada di atas akhirnya menjadi rebutan, karena dari balkon nya dapat terlihat garis pantai di kejauhan. Setelah sekian lama menahan diri, menjaga image di dalam bandara dan pesawat, perlahan namun pasti sifat asli mereka mulai kembali. Bagaikan efek obat yang mulai habis, satu persatu mereka mulai bersuara dengan keras, dan tak lama kemudian mereka kembali ke sifat primitif mereka yang membuat mereka menyandang gelar tim hore. Sekejap kemudian wisma yang cantik dan penuh ke anggunan khas Bali itu berubah menjadi seperti taman kanak- kanak. Mereka hom pim pa untuk mendapatkan kamar atas, tapi yang kalah mengaku menang, akhirnya yang menang tetap harus adu otot untuk memasuki kamar atas. Kedua gadis yang melihat mereka hanya menggeleng dan dengan kalem memilih kamar di bawah.

 

Kerusuhan berlanjut dari dua kamar tidur di atas hingga ke kolam renang. Mereka langsung membuat peraturan untuk malam pertama. Peraturan di buat berdasarkan gender. Yang lelaki ‘membersihkan’ kolam renang. Yang wanita menyiapkan makan malam. Jadilah kolam renang mungil nan cantik itu bagaikan di isi oleh enam ekor      kera gunung yang gemar berkubang.

 

Air muncrat kemana- mana, kera- kera gunung itu tak tahu seni berkubang. Air di kolam hampir berpindah tempat ke bulan ketika Robby melompat dan terjun kedalamnya. Hanya dalam beberapa menit sebuah sapuan tangan yang tak terkendali menghantam tiang lampu sebelah kanan yang menyinari kolam itu dan langsung padam. Mereka diam, tapi hanya untuk sedetik, setelah itu mereka langsung melupakannya. Siapa yang mau peduli pada sebuah lampu sorot, ini liburan broo. 

 

Para gadis yang pulang sambil membawa makan malam terbengong- bengong melihat keadaan taman di sekitar kolam renang. Keadaan taman kecil yang mengelilingi kolam itu becek, dan jalan setapak itu basah. Seakan ada hujan deras.

 

Mereka duduk mengelilingi meja bundar itu , dan memperhatikan para gadis membuka bungkusan makanan itu di depan mereka. Mereka masih tertawa- tawa dengan handuk tebal menyelimuti tubuh mereka masing- masing. Delapan bungkus nasi goreng, dan delapan potong ayam goreng. Cukup untuk memanjakan perut mereka di malam itu. Maya dengan tersenyum manis memberikan bungkus yang pertama kepada Adit, dia bahkan membukakan bungkus itu. Dan adit terdiam.

 

Nasi goreng itu di taburi bawang goreng di atasnya. Dan ketika membuka ayam goreng, terlihat cabe hijau menyelimuti ayam goreng tersebut.

 

Adit akhirnya hanya bisa tersenyum kecut. Dia tahu, Maya maupun Astrid tidak bersalah. Yang salah adalah dirinya sendiri. Dia sendiri yang terlalu terbiasa dengan satu orang itu, yang tanpa perlu dia berkata apapun akan selalu mengetahui pilihannya. Malam pertama belum lewat, namun sudah terasa ada yang kurang tanpa dia. Adit hanya bisa menghela napas memikirkan ini.

Lihat selengkapnya