Pohon kiara payung yang rindang itu sudah semakin tinggi. Dahan dan rantingnya juga semakin lebat, dengan dedaunan yang semakin rapat. Elena tidak akan menyadari pertumbuhan pohon itu jika bukan karena sarang burung jalak yang semakin tersembunyi di bagian puncak pohon. Sekarang yang terlihat dari sarang itu hanya sedikit benjolan di dahan pohon. Seperti tumpukan tanah yang tersangkut di atas dahan.
Elena melemparkan remah roti di tangannya kepada dua ekor burung yang jaraknya hanya setengah lengan dari tempat duduknya. Mungkin kedua ekor burung ini adalah generasi kedua dari burung jalak yang bersarang di atas pohon ini, Pohon yang merupakan tempat nongkrong tetap dari tim hore. Andai pohon ini bisa bicara, mungkin dia akan mengeluarkan sejuta uneg- uneg mengenai sekumpulan mamalia yang berbicara seakan semua orang tuli, dan celakanya hampir setiap hari duduk di bawah pohon ini.
“Coba sini, gue yang kasih.” Kata Adit, sedari tadi dia memperhatikan kedua ekor burung yang kelihatannya sangat jinak. Mereka sepertinya sama sekali tidak takut kepada Elena. Namun baru saja Adit berjalan mendekat, kedua ekor burung itu langsung terbang menembus pepohonan.
“Burungnya pinter. Bisa bedain orang jahat atau orang baik yang deketin.” Kata Elena dengan perlahan, namun menusuk bagaikan mata tombak ke ulu hati.
“Eh, itu udah kenyang, makanya terbang.” Kata Adit dengan ketus, berusaha membela diri. Elena hanya tertawa terkekeh geli.
Tak terasa, dua tahun telah berlalu dengan cepat sejak Elena menerima pekerjaan aneh dari Ayah Adit. Elena memperhatikan Adit yang masih mendongak memperhatikan sarang burung di atas pohon. Rambutnya masih cepak, masih jabrik, namun Adit yang sekarang sudah bukan Adit dua tahun yang lalu. Elena sangat yakin mengenai itu. Mengenai perubahan, semua orang pada saatnya pasti berubah. Hanya saja khusus mengenai Adit, Elena yakin bahwa ada sebagian dari diri Adit yang berubah karena Elena. Sama yakinnya dengan ada sebagian dari dirinya sendiri yang berubah karena Adit.
Sebuah pesan pendek masuk ke dalam ponsel Elena. Dia membacanya dengan wajah berseri- seri. Matanya melirik Adit, mencoba mereka- reka, akan menjadi seperti apa wajah Adit saat menerima kejutan ini.
“Dit. Ayuk pulang.” Kata Elena. Semuanya sudah di atur, jam pengirimannya sudah dipastikan, tidak akan lebih lambat ataupun lebih cepat.
Adit terheran- heran ketika Elena ikut dengannya naik ke mobil. “ Loh, lu nggak pulang ke rumah lu?”
“Nggak, ada sesuatu yang harus gue ambil di rumah lo.”
“Gue bisa ambilin, jadi lu gak perlu bolak balik sejauh itu.”
“Untuk yang satu ini gak mungkin bisa lu ambilin.” Elena tersenyum cerah. Adit diam dan memperhatikan, kemudian mau tak mau ikut tersenyum. Yah, apa salahnya. Jika itu yang diinginkan Elena, silahkan saja. Ada perasaan yang aneh menggelayut di hati Adit, ketika menyadari kata ‘pulang’ yang keluar dari mulut Elena ternyata merujuk kepada rumah Adit. Perasaan yang sama dengan saat melihat Elena sibuk memasak di dapurnya seolah dia adalah ibu rumah tangga di rumah Adit.
Menjelang senja mereka tiba di depan gerbang rumah, dan tanpa bicara Elena turun membukakan gerbang, menggeser sebuah selang di atas lantai yang tersambung dengan snorkel putih agar tidak terlindas roda mobil, kemudian membukakan pintu garasi. Kegiatan kecil yang dilakukannya tanpa perlu berpikir, seperti ketika memasukkan sendok ke dalam mulut. Kegiatan yang tanpa terasa telah ia lakukan selama dua tahun.
Namun tidak seperti biasanya, Elena tidak langsung mentup pintu gerbang setelah mobil putih Adit masuk ke garasi. Dia masih berdiri dan membiarkan pagar terbuka, tangannya sibuk memencet ponsel, sementara Adit yang barusan turun dari mobil keheranan melihat Elena yang seperti sedang menunggu seseorang.