Elena Kartini

rudy
Chapter #32

Bab 32 Saksi Bisu

Hari masih siang, matahari bersinar terik dan debu jalan yang mengebul tinggi menandakan alangkah keringnya cuaca akhir- akhir ini. Namun keringnya cuaca jelas tidak berpengaruh dengan suasana di dalam warung pojok yang saat itu penuh dengan banjir dengan teriakan suka cita dan ucapan selamat kepada Teguh dan Tommy. Kedua anggota senior tim hore itu barusan selesai sidang skripsi, dan dinyatakan lulus. Mereka menari bagaikan anggota K-Pop yang sedang sakit perut, dan bersorak sorai bagaikan dukun yang sedang meminta hujan. Setelah semuanya selesai mengucapkan selamat, suasana dengan seketika berubah.

 

Hening, ketika mereka berdua melemparkan padangan ke seluruh sisi di dalam warung pojok yang sudah menjadi rumah kedua bagi mereka. Dan ketika pandangan mata mereka menyapu orang- orang yang berkumpul di sana, semua dapat merasakan perasaan senang sekaligus sedih. Semua seperti mempersiapkan diri untuk mengatasi rasa rindu yang tak terhindarkan jika saatnya telah tiba.

 

Adit mulai menyesali kemalasannya di dua tahun pertama kuliahnya. Ibarat kendaraan yang harus di gas terus menerus hingga garis finish, mereka yang sejak awal kuliah langsung tancap gas sekarang rata- rata sudah semester akhir. Termasuk Sherly yang sekarang sedang mengerjakan skripsi. Kalau Adit beda, dia baru menginjak pedal gas di pertengahan perlombaan, jadilah dia tertinggal dari teman- temannya. Meskipun dia sudah berusaha keras untuk mengejar. Jika dibandingkan dengan Robby, mungkin Robby akan lulus setengah tahun lebih cepat daripada Adit. Lumayanlah, mengingat alangkah jauhnya dia tertinggal saat pertama kali Elena memaksa dia masuk ke kelas.

 

Jika saatnya telah tiba untuk membuka lembaran baru dalam hidup, kehidupan mereka yang sekarang akan menjadi lembaran lama yang hanya berada di dalam kenangan. Dan cepat atau lambat waktu akan membuat kenangan itu semakin memudar, hingga kemudian menghilang dan digantikan kenangan yang baru

Sebuah undangan ulang tahun sekaligus menjadi salam perpisahan disampaikan kepada seluruh tim hore, termasuk Elena dan Sherly, undangan yang mustahil untuk di tolak, karena bahkan jadwalnya seperti sengaja dibuat agar cocok untuk semua orang. Pestanya sepanjang malam.  

 

Elena dan Sherly datang berdua ke pesta ulang tahun Teguh. Mereka berdua mengenakan sepatu yang bertumit tinggi. Elena jelas sangat tidak nyaman dengan sepatu hak tinggi yang membuat dia harus berjalan pelan dengan betis yang selalu menegang.

 

“Lu kapan terakhir kali pake sepatu hak tinggi?” Tanya Sherly.

 

“Di kehidupan yang lalu.” Dengan ketus Elena menjawab, Sherly tertawa mendengarnya. Tangan Sherly membawa sebuah kado, sebuah tas kerja khas orang kantoran yang mereka beli berdua.

 

Jam sudah menunjukkan pukul 11:00 malam ketika taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah cottage di dalam taman impian jaya Ancol. Teguh menyewa sebuah cottage di pinggir pantai hingga pagi hari. Mereka sudah berada di sana sejak jam delapan malam.

 

Ponsel Elena kembali berdenting, entah sudah yang keberapa kalinya.

 

“Adit lagi?” Tanya Sherly.

 

“Iya, ini anak kenapa yah? Jangan- jangan gue gak sengaja ngambil sendok di rumah dia yah? Masa tiap setengah jam kirim pesan?” Dengan menggerutu Elena membalas pesan Adit.

 

“Dia mungkin kesal, lu gak mau dijemput dia.” Kata Sherly.

 

“Loh gue udah bilang, gue pasti akan datang sama elo. Gue kasihan sama dia kalo nungguin kita sendirian di cafe. Makanya gue suruh dia jalan duluan.”

 

Mereka turun dari taksi, di depan cottage itu terlihat beberapa mobil di parkir. Ada sekitar sepuluh mobil. Salah satunya adalah mobil Adit.

 

Cottage itu berbentuk seperti perahu terbalik, dengan bagian lambung yang menjadi atapnya. Di bagian depannya ada pekarangan kecil, dengan pagar tanaman yang membatasi antara jalan dengan pekarangan tersebut. Dua buah lampu pijar yang berwarna kekuningan menerangi jalan setapak yang membelah pekarangan itu menuju ke dalam cottage.

 

Mereka membuka pintu, agak heran karena tak mendengar suara apapun.

 

“Kok sepi Len?” Sherly bertanya.

 

Namun Elena tak bisa menjawab. Dia memiliki pemikiran yang sama dengan Sherly. Bukan tim hore namanya kalau pada saat berkumpul suara mereka tak bisa membangunkan seisi kampung.

 

“Gak tahu. Tapi tempatnya pasti nggak salah, itu kan mobil Adit.” Akhirnya Elena menjawab, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.

 

Elena mengintip ke bagian dalam. Di dalam ruangan itu terang benderang, bagian depan cottage itu seperti ruang tamu, dengan dua baris sofa di letakkan membentuk dua baris yang berhadapan. Mereka melangkah masuk kedalam. Sayup- sayup terdengar suara orang bernyanyi dan bersorak di kejauhan. Mereka melewati ruang tamu itu dan langsung melihat ruangan yang keadaannya seperti kapal pecah. Piring bekas berada di mana- mana, botol minuman berserakan, kursi dan meja yang terletak tak beraturan. Ruangan itu persis seperti barusan menerima gabungan gempa, badai, tornado dan tsunami. Untung dinding ruangan ini tidak terbuat dari papan.

 

Suara teriakan itu semakin terdengar jelas. Setelah ruangan tak berbentuk itu mereka memasuki ruangan yang terletak paling belakang di dalam cottage tersebut. Ruangan itu sepertinya sebuah dapur, akan tetapi tanpa kompor, hanya ada wastafel dan sebuah microwave. Di sana terdapat sebuah pintu dari kaca yang menghadap halaman belakang. Dengan jelas mereka dapat melihat puluhan orang berada di halaman belakang yang merupakan pantai. Pantas saja di dalam cottage itu sepi. Tempat berpestanya sudah pindah keluar ruangan.

 

Mereka segera menuju ke halaman belakang. Sebuah meja yang memanjang di letakkan di atas pasir pantai, dengan dua baris bangku yang sama panjangnya di letakkan di kedua sisi yang berhadapan. Tak jauh dari meja panjang itu terdapat dua buah tungku batubara, terlihat seorang koki sedang memanggang sesuatu di atas tungku tersebut. Di beberapa titik terletak kursi malas yang menghadap ke arah laut. Angin bertiup sepoi - sepoi, membuat rambut panjang Elena melambai- lambai.

 

Di sekeliling tempat itu ada puluhan orang, mereka terpencar di mana- mana. Sebagian di bangku panjang, sebagian di kursi malas, sebagian berjalan di pantai, sebagian berdiri di samping tungku sambil membawa piring kosong. Tiang- tiang lampu yang setinggi orang terletak di beberapa titik, menerangi pantai itu dengan lampunya yang menyala kekuningan. Cukup terang, dan sepertinya di atur sedemikian rupa agar tidak membuat silau.

 

Sayup- sayup terdengar bunyi gitar dan nyanyian seseorang, Elena langsung mengenali Irwan yang dengan sebelah kaki di taruh di atas bangku panjang memainkan gitarnya. Maksud hati ingin terlihat bagaikan Slash yang sedang show dengan menaruh sebelah kaki ke atas speaker, namun dengan kacamata hitamnya yang kebesaran ditambah kaos lengan panjang berwarna hijau yang sedang dikenakannya, dia malah kelihatan seperti jangkrik yang sedang bersantai dengan sebelah kaki depan di angkat. 

 

I started a joke

Started the whole world laughing 

 

Beberapa orang ikut menyanyikan lagu itu bersama dengannya. Sungguh luar biasa, di malam yang remang- remang seperti ini dia masih tidak rela untuk melepaskan kaca mata hitamnya. Masih merupakan misteri bagaimana cara dia berjalan tanpa tersandung di tempat segelap ini. 

 

Tempat itu ramai, namun Elena merasa agak terasing, dari sekian banyaknya orang hanya Irwan yang dikenalnya. Mereka berjalan perlahan mencari sosok si empunya acara, dan tanpa disadari mereka mendekat ke meja panjang itu.

 

Suara gitar dan nyanyian itu berhenti, belasan orang yang duduk mengelilingi meja panjang itu menoleh merasakan kehadiran Elena dan Sherly. Elena melambai kepada Irwan yang menatapnya, dan setelah mengangkat kacama hitamnya Irwan baru menyambut.

 

Tak lama kemudian Teguh muncul dan langsung menyambut mereka berdua dengan hangat.

Lihat selengkapnya