Sekarang sudah lewat jam makan malam sebenarnya, tapi kantin markas masih ramai. Mungkin mereka bekerja terlalu keras sampai melupakan jam makan dan baru makan sekarang. Di tengah suara dentingan sendok, obrolan, dan canda tawa, di kantin itu Bagas memilih untuk duduk sendiri di pojok ruangan. Kakinya di tekuk untuk memudahkan tangannya memeluk, udara memang sedang dingin sekarang, sejak pagi hujan tidak berhenti. Di depannya ada secangkir kopi hitam murni yang sudah tinggal setengah dan dingin. Bagas menyandarkan kepalanya di jendela, lebih tepatnya dinding yang terbuat dari kaca sambil menatap hujan. Tak ada satu pun orang di markas ini yang berani mengganggu Bagas di saat seperti ini.
Tuk...
Terdengar bunyi kecil dari meja yang ada di depan Bagas, masih dengan posisi yang sama Bagas melihat siapa yang datang. Sepertinya Bagas lupa, masih ada satu orang di markas ini yang berani mengganggunya dalam kondisi apa pun, Chika. Gadis dua puluh dua tahun yang cantik dan baik, jika di markas. Tolong garis bawahi, “jika di markas”. Bagas sudah pernah melihat sendiri keganasan Chika jika sedang bertugas.
“kapan sampe?” tanya Bagas setelah kembali melihat hujan di luar.
“siang.” Jawab singkat Chika. Kedua orang ini memang tidak pernah bicara banyak kalau tidak di perlukan. Buktinya sekarang mereka berdua duduk diam dengan pikiran masing-masing. Mereka bahkan mendapat julukan batu es. Tapi di saat yang dibutuhkan mereka bisa menjadi pemimpin yang baik, dan saat menjalankan misi berdua mereka bekerja sama dengan baik bahkan tanpa kata. Bisa di bilang mereka mengenal satu sama lain dengan baik, pola pikir mereka sejalan.
Mereka berdiam diri sangat lama di kantin. Bahkan jam sudah menunjuk tengah malam, kantin sudah sangat sepi hanya terkadang datang satu dua orang yang memesan kopi. Markas ini tidak pernah sepi pekerja lembur, beruntung di sini di sediakan asrama.