Elia Sismona, Ia terkurung tak berdaya. Matanya basah, jiwanya terguncang. Baru saja tadi pagi merayakan senang, bahagia, ceria. Tapi berputaran waktu angin malam mengutarakan kata, bilang cinta usai serta harapan kandas di depan mata. Lelaki yang sudah belasan bulan membersamainya pamit mundur, tidak bisa serius untuk waktu terdekat.
Di dalam kamarnya yang bernuansa merah jambu, di atas meja belajarnya banyak hadiah yang sejak siang dibawa pulang, pernak-pernik serta warna-warni. Kini mata Elia banjir air mata. Tak tertahan, gadis yang berusia 26 tahun ini terus beristighfar. Menahan lara yang seakan menyumbat aliran pernafasan. Sesak di dada mengalahkan sakit batuk berdahak.
“Elia.. Nak, makan yuk!” suara di balik pintu memanggilnya.
“Elia sudah makan Ma.”
“Mama boleh masuk?”
“Iya.”
Tak menunggu hitungan menit, pintu kamarnya terbuka. Wanita separuh baya dengan jilbab lebar berwarnakan abu-abu serta sosok lembut yang selalu berkaca mata itu segera menghampiri putri ke duanya. Duduk dipinggir ranjang yang berseprai warna biru muda.
“Sayang kamu kenapa?”
Elia mengusap air matanya yang tak bisa di sembunyikannya lagi.
“Cerita sama Mama.”
Elia tak kuat menahan perih dibatinnya sendiri. Ia segera menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan wanita yang melahirkannya, memeluknya erat, menenangkan batinnya.
Mamanya memberikan jeda, membiarkan Elia menangis dan terguncang dalam pelukannya.
“Menangislah Nak, sampai kamu merasa lega.”
Elia terus menangis, wanita itu masih membiarkan, memberikan ruang bagi putrinya yang Ia menduga pasti tengah mendapatkan kepayahan hati.
“Hubungan Elia sudah kandas sama Daya, Ma.” Isak tangisnya pecah. Tak tertahan lagi.
“Kandas gimana?”
Elia melepaskan pelukannya, menatap Mamanya layu. Menarik nafasnya panjang, beristighfar.