Aku tak tahu siapa yang lebih lemah saat itu—Mamah yang tak sadarkan diri, atau aku yang tak tahu harus berbuat apa selain menangis dalam diam.
Setelah tubuh Mamah roboh di jalan, yang Elira ingat hanyalah kerumunan. Wajah-wajah asing mendekat, suara gaduh di kejauhan, dan tangan-tangan orang dewasa yang dengan tergesa membopong tubuh Mamah ke arah rumah. Seseorang menggendongnya juga, entah siapa, entah berapa orang yang ikut membantu. Tapi Elira hanya ingat satu hal: ia tak pernah melepaskan pandangannya dari wajah Mamah yang terpejam.
Sesampainya di rumah, ia masih menangis. Lama. Tapi kemudian tangis itu habis. Yang tersisa hanyalah pandangan kosong ke arah Mamah yang terbaring, aroma kayu putih yang memenuhi kamar, dan suara air mengalir dari akuarium kecil yang menjadi satu-satunya bunyi di dalam keheningan.
Ia duduk di samping Mamah. Ia belum bisa membaca jam, tapi waktu terasa seperti laut yang tidak bertepi.
Lalu akhirnya, Mamah membuka mata.
Senyum itu kembali—lemah, terpaksa.
Tapi matanya tak bisa menyembunyikan apa pun.
Air mata mengalir pelan di pipinya saat menatapku, seolah ingin berkata: “Maafkan Mamah.”