Hari itu aku sendirian di rumah. Lagi.
Aku tidak tahu apakah anak lain juga ditinggal sendirian seperti ini. Tapi bagiku, itu sudah biasa.
Pagi tadi, seperti biasa, ibu membungkuk di hadapanku sebelum berangkat bekerja. Wajahnya selalu mencoba tersenyum, tapi seperti ada selapis kesedihan yang tak bisa dihapus. Tangannya menyentuh bahuku, lalu ia berpesan:
“Kalau ada orang datang, bilang Mama dan Bapa sedang bekerja. Nanti sore pulangnya.”
Aku mengangguk. Aku selalu mengangguk.
Rumah kami terkunci dari luar. Aku berada di dalam, hanya bersama benda-benda yang aku beri nama, dan yang paling sering menemaniku adalah kursi tua di belakang—aku memanggilnya Tala.
Tala bukan kursi biasa. Sandarannya sedikit patah, dudukannya berderit jika aku bergerak terlalu cepat, tapi Tala mendengarkanku. Kadang aku duduk memeluk lutut di atasnya, atau menyandarkan kepala dan berbisik cerita-cerita khayalanku. Di dunia yang ramai di luar, Tala adalah satu-satunya yang diam dan selalu tinggal.
Hari itu sunyi. Suara dari akuarium kecil menetes pelan, ritmis seperti bisikan. Aku tak merasa takut, hanya terbiasa.
Lalu terdengar ketukan.
Tok… tok…