Hari-hari berjalan seperti langkah kaki di tanah basah—diam-diam menoreh jejak.
Elira berusia enam tahun.
Dan seperti air yang mengalir di sela batu, ingatannya kini lebih jelas. Lebih terang. Kadang menenangkan, kadang menyakitkan.
Suatu akhir pekan, nenek yang dulu pernah meneriaki dari balik jendela datang lagi.
Tapi kali ini, pintu rumah terbuka, dan kedua orang tuanya ada di dalam.
Ibunya segera menarik Elira ke bagian belakang rumah.
Sementara ayah menjamu nenek di ruang tamu. Tak ada yang dijelaskan, tak ada yang diberitahu. Tapi Elira tahu: ada sesuatu yang tidak biasa.
Tak lama kemudian, suara ayah meninggi, membelah udara seperti petir.
Piring pecah. Gelas terlempar.
Elira hanya bisa duduk bersama Tala—kursi setianya—dalam sunyi yang semakin dingin dan pekat.
Aku tidak tahu apa yang dikatakan Ayah. Tapi rasanya seperti seluruh rumah kehilangan napas.
Seperti langit menunduk. Seperti dinding tak lagi berdiri untuk melindungi.
Lalu ibu datang.
Ia menggenggam tangan Elira, menatapnya sambil menangis. Kali ini tidak ada senyum yang diselipkan.
Tangis itu tidak bisa disamarkan. Dan Elira, walau belum tahu apa yang sebenarnya terjadi, ikut menangis dalam diam.