Sebelum manusia lahir ke dunia ini, mereka membuat kontrak dengan Tuhan dan kita menyutujui kontrak itu. Yah, begitulah yang dikatakan nenek tua itu pada seorang gadis kecil berambut hitam legam dengan mata biru abu-abu. Maksudku, nenek tua itu adalah ibu gadis itu. Aku tidak suka melihatnya karena dia selalu membual tentang Tuhan, Tuhan, dan Tuhan. memangnya Tuhan itu ada?
"Nak, kita harus selalu patuh pada perintah Tuhan. Dia sangat menyanyi umat-Nya maka kita harus melakukan hal yang menyenangkan hatinya." Ucap wanita paruh baya itu pada anak perempuannya.
Gadis itu diam menatap lantai kayu yang dingin dan gelap. Pada masa itu, keluarga mereka tidak menyalakan lampu di atas pukul sembilan malam. Itu adalah sebuah tradisi untuk menghormati Tuhan dan menunjukkan bahwa manusia ciptaan-Nya telah tidur dengan lelap. Mata biru abu-abunya menatap manik mata perempuan paruh baya itu di bawah cahaya bulan yang menembus jendela kecil kamar itu. "Apa yang Tuhan suka, Mama?" Tanyanya dengan lirih.
Wanita itu mengelus pelan rambut gadis kecil di depannya seraya tersenyum dan berkata,"Tuhan suka anak yang patuh pada perintah orang tuanya dan tidak banyak bertanya tentang hal yang seharusnya tidak mereka ketahui."
"Baiklah, jika hal itu membuat Tuhan senang padaku, aku akan melakukannya." Jawabnya dengan kedua sudut bibir terangkat.
"Anak pintar! Sekarang waktunya tidur. Ayo, pakai gaun tidurmu dan jangan lupa berdoa."
Gadis kecil itu segera beranjak mencuci kaki dan tangan seperti yang anak-anak lakukan pada umumnya. Setelah selesai membersihkan diri, dia melangkahkan kaki menuju sebuah lemari khusus di belakang sebuah dinding, dia menyebutnya kamar rahasia. Ia mendorong dinding itu seperti mendorong pintu geser lalu menyeret langkah menuju sebuah lemari di sudut ruangan. Di lantai kedua sisi lemari itu terdapat lilin hitam kecil dengan api yang tidak pernah padam. Lilin itu sendiri juga tidak pernah meleleh, tidak ada perubahan bentuk dan ukuran pada lilin itu seperti lilin biasa. Akan tetapi, gadis itu tidak peduli dan tidak pernah bertanya-tanya mengapa ada lilin seperti itu di sisi kanan dan kiri lemari itu.
Tangan kanan mungilnya membuka pintu lemari itu. Ia melihat sebuah gaun merah gelap tergantung. Gaun itu terlihat biasa saja. Bentuknya panjang tanpa ada model seperti daster dengan tangan panjang berumbai layaknya jubah pendeta dan menutupi seluruh kulit leher. Gaun itu hanya memperlihatkan kulit tangan, kaki, dan wajah pemakainya.
"Aku menyerahkan seluruh hidup, jiwa, dan ragaku pada-Mu. Izinkanlah aku mengenakan gaun ini selama aku tidur. Semoga aku diberkati oleh-Mu." Ucapnya dengan kedua tangan menyatu dan diletakkan di depan dada. Setelah mengucapkan doa itu, ia mengambil gaun merah gelap dengan hati-hati seakan-akan itu adalah benda paling rapuh di dunia.
Ia mulai membuka tiga kancing depan gaun itu. Selama proses memakai, ia harus terus tersenyum sebagai bukti rasa syukurnya kepada Tuhan. Kakinya melangkah ke depan cermin dan melihat pantulan dirinya dalam gaun merah itu. Ia meraba tubuhnya untuk memastikan semuanya terpasang dengan baik. Setelah itu, ia berjalan pelan menuju tempat tidur lusuh miliknya di sudut kamar dekat jendela kecil di mana bulan selalu muncul di sana. Ia merangkak dan membaringkan tubuhnya di atas kasur jelek itu lalu memejamkan mata dan berkata,"Selamat malam, Lucifer."
__
Pagi yang sangat gelap. Sepertinya cahaya matahari enggan masuk menyinari rumah gadis itu padahal tak ada satupun pohon di sana. Sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok. Aroma kopi hangat menyelinap memasuki satu per satu ruangan. Saatnya minum kopi!
Elis terbangun dan segera melepas gaun tidurnya. "Terima kasih telah melindungiku selama aku tidur." Ucapnya pada gaun tersebut dan menggantungnya di dalam lemari lalu ia bergegas melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Selesai mandi, ia mengenakan seragam sekolah yang terdiri dari kemeja hijau dan rok hitam. Kemudian ia menyeret langkah tanpa semangat menuju dapur di mana ibu dan ayahnya berada. Yah, sama seperti siswa pada umumnya, dia tidak suka belajar.