BAB 1.
Seorang wanita tua berusia 54 tahun berdiri di depan jendela kala langit sore mulai dikalahkan oleh senja yang segera datang. Rintik hujan perlahan berjatuhan, menambah rasa resah di hati wanita yang bernama Aminah Larasati itu. Petir yang menyambar membuat badannya tersentak kaget, buru-buru beliau menutup jendela kayu itu.
“Bahaya Bu berdiri di depan jendela saat hujan. Nanti disambar petir,” tegur seorang pria tua bernama Sanadi Akbari—suami dari Aminah yang berusia 58 tahun.
Aminah mendekati suaminya yang duduk bersandar di kursi kayu sambil menyeruput kopi hitam.
“Efan kok belum pulang juga ya, Pak? Aku takut terjadi hal yang tidak-tidak. Sudah mau senja, tapi dia belum pulang juga,” keluh Aminah dengan raut khawatir.
“Mungkin menginap di rumah kawannya?”
“Tapi dari kemarin sore, Pak. Biasanya walau suka menginap di rumah kawannya, siang pulang sebentar ke rumah untuk makan. Dia selalu bilang nggak enak numpang makan di rumah kawan.”
Barulah Sanadi mulai merasakan kekhawatiran yang istrinya rasakan. “Malam nanti kita datangi rumah-rumah kawannya, Bu. Siapa tahu memang menginap.”
“Iya, Pak.”
***
Malam harinya, Aminah bersiap untuk melakukan kunjungan ke rumah beberapa teman anak bungsunya yang bernama Efandy Zainal yang tak pulang ke rumah sejak sore kemarin. Aminah memoleskan bedak pada wajahnya dengan tatapan nanar, menyiratkan gambaran hatinya yang saat ini nyaris porak-poranda dengan pemikiran buruk.
Pintu kamar tiba-tiba dibuka oleh anak sulungnya yang bernama Danar Abidin. Pria berusia 28 tahun itu baru saja pulang bekerja sebagai karyawan pabrik.
“Aku ikut cari Efan, Bu,” ujar pria perawakan tinggi dan kulit sawo matang itu.
Aminah mengangguk. “Kita ke rumah Bu Salimah dulu, ibunya Maulana. Dia yang paling dekat dengan Efan. Efan juga sering izin menginap ke rumahnya.”
“Iya, Bu.”
Sanadi menggunakan beca miliknya sebagai alat transportasi menuju rumah-rumah yang akan mereka sambangi. Sedangkan Danar memakai sepeda yang biasa ia gunakan bekerja menuju pabrik. Rumah Maulana yang menjadi tujuan utama mereka tak jauh dari rumah Efan, hanya berjarak 1 buah desa saja. Malam itu, kedatangan mereka cukup membuat orang tua Maulana kaget dan resah seketika. Melihat orang tua Efan menyambangi rumah mereka.
“Assalamu’alaikum,” ucap Sanadi.
“Walaikumussalam. Ada apa ini, San?” tanya Alang, ayahnya Maulana.
“Enggak, ini kami lagi mencari Efan. Ada tidak ya menginap di sini?” tanya Sanadi.
Alang menggeleng dengan raut khawatir. “Nggak ada, San. Emangnya Efan belum pulang?”