Zuleha tengah berjuang melahirkan putri ketiganya di rumah dengan bantuan bidan beranak. Aminah dengan pikiran yang teramat kalut ikut mendampingi putrinya melahirkan. Meski sudah berkali-kali mendampingi anak dan menantunya melahirkan, Aminah tak bisa merasa tenang. Rasa panik dan takut kehilangan selalu menghantui pikirannya. Mulutnya tak berhenti merapalkan doa, tangannya yang sudah tak lagi muda menjadi pegangan terkuat Zuleha selain suaminya.
Satu jam berlalu, terdengar suara tangisan bayi. Sanadi dan Nana yang menunggu di luar rumah merasa lega. Dari mereka berdua tak ada yang berani masuk ke rumah saat proses melahirkan itu berlangsung. Bagi merela proses melahirkan itu amat menakutkan. Mendengar teriakan dan napas putus-putus orang yang melahirkan membuat persendian mereka seakan melemah.
Aminah muncul dari arah dalam menuju pintu, melihat kedua orang tercintanya membuat dirinya melemparkan senyum tipis. Aminah tahu mereka teramat tegang dan kelelahan. Sudah tengah malam, udara di luar mendingin. Aminah pun menyuruh mereka segera masuk.
"Masuk ayo! Alhamdulillah anak Leha perempuan. Putih bayinya."
"Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan.
Mereka segera masuk ke dalam rumah. Duduk di ruang tengah sembari menunggu bidan membersihkan bayi Zuleha yang baru lahir. Dari bilik tengah, keluar seorang pria berusia sekitar 35 tahun dengan raut wajah pucat pasi. Beliau adalah suami Zuleha, Imran namanya.
"Pucat kamu, Im," ucap Sanadi terkekeh.
Imran menyunggingkan senyuman, kedua tangannya mengusap wajahnya yang terasa basah oleh peluh. Imran bergabung duduk di kursi samping Sanadi, dengan helaan napas terdengar lega.
"Lega saya, Pa. Sudah dua kali mendampingi dia melahirkan, kali ini tetap bikin gemeteran. Alhamdulillah Leha dan anak kami selamat," ucap Imran.
Sanadi menganguk sambil menepuk pundak menantunya. "Wajar itu, Im. Melahirkan artinya istri berada di situasiĀ antara hidup dan mati. Juga anak yang akan segera lahir itu. Jaga putri Bapak dengan baik, ya," ujar Sanadi.
"In Shaa Allah, Pa," sahut Imran tulus. "Bapak sama Ibu menginap saja di sini. Sudah malam banget, udara di luar nggak baik. Biar langsung istirahat di kamar."
"Mana bisa tidur kami, Im. Tadi sebelum ke sini kami berkunjung ke rumah temannya Efan. Dia nggak pulang dari kemarin sore, Im. Aminah khawatir bukan main." Ucapan Sanadi sontak membuat Imran terkejut.
"Ya Allah ... hape dia nggak punya kah, Pa?" tanya Imran dengan raut wajah khawatir.
Sanadi menggeleng hampa. "Rusak, Im. Sudah sebulan dia nggak pegang hape. Makanya nggak ada yang bisa kami hubungi. Nomor-nomor hape temannya Efan pun nggak punya. Tapi seingat Bapak si Efan punya hape bekas Danar dulu. Katanya sementara dia pakai sebelum bisa beli hape baru. Cuma Bapak nggak punya nomornya yang baru, Im. Kartunya yang lama ada di hape lama, sudah dibuang. Tapi perasaan kami lega sedikit setelah mendengar ucapan salah satu teman Efan. Katanya dia menginap di rumah Edo, temannya juga. Makanya bisa cukup tenang nyamperin ke sini," tutur Sanadi menjelaskan.
"Saya ada kawan polisi, Pa. Kita bisa minta bantuan untuk pencarian kalau-kalau Efan belum pulang juga."
"Jangan berurusan sama polisi dulu. Duitnya, Im. Takut keluar duit sekian-sekian. Kalau ada duitnya sih nggak papa," cegah Sanadi dengan tampang lesu.
Aminah keluar dari kamar sambil menggendong seorang bayi yang telah dibedong rapi dengan kain. Wajah penat dan putus asa Sanadi hilang seketika. Beliau berdiri dengan senyum lebar memperhatikan cucunya yang masih merah itu.
"Cantik ya, Pa," ucap Aminah senang.
"Iya, Bu. Sudah ada namanya, Bu?" tanya Sanadi.