ELOK BERDARAH

Mona Cim
Chapter #4

PEMAKAMAN EFAN

Jenazah Efan dimakamkan di pemakaman kampung Rambai. Di sana juga tempat dikebumikannya beberapa keluarga Sanadi yang telah meninggal dunia. Sanadi memilih tempat di samping makam almarhum ibunya untuk membuat liang lahat Efan. Beberapa waktu lalu ketika mengunjungi makam ibunya, Sanadi berpesan pada Aminah agar menguburkan dirinya nanti di samping ibunya tersebut jikalau ia meninggal lebih dulu. Namun, tak ada yang bisa menebak takdir dari Yang Maha Kuasa. Putra bungsunya lebih dulu berpulang ke Rahmatullah hari ini.

Sanadi sudah tak menangis. Wajahnya datar dengan tatapan kosong sudah turun ke liang lahat bersama satu orang tukang gali kubur. Sanadi merentangkan tangannya menyambut tubuh Efan yang terbungkus oleh kain kafan. Di atas sana, Aminah dan Nana saling berpelukan dengan tangisan tanpa suara. Danar siap siaga di samping mereka kalau-kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Suara bergetar Sanadi mengumandangkan azan untuk Efan begitu menyayat hati. Isakan tangis Aminah kian terdengar. Danar terus menerus mengusap punggung ibunya untuk menguatkan.

"Ken—kenapa k-kamu ninggalin Ib-u secepat ini, Fan. Ya Allah anakku ...." Aminah menekan dadanya kuat-kuat menahan rasa sakit yang terus saja menghujam hatinya.

Proses mengumandangkan adzan sudah selesai. Sanadi pun dibantu naik ke atas. Perlahan tubuh remaja laki-laki itu ditutupi oleh tanah dari atas. Sedikit demi sedikit kain kafan itu tertutupi hingga tak terlihat lagi. Pada akhirnya gundukan tanah yang masih segar menjadi puncak dari makam Efan. Pihak keluarga segera menaburi banyak bunga di atasnya dengan perasaan yang tak bisa dijabarkan oleh kata-kata.

Perlahan satu per satu orang meninggalkan pemakaman, hingga menyisakan keluarga Sanadi di sana. Sanadi mengusap batu nisan yang bertulisan nama anaknya dengan tatapan nanar. Kosong, penuh rasa sakit, dan penyesalan. Itulah arti dari tatapan kosong yang Sanadi tunjukkan.

"Yang tenang ya, Nak. B-bapa selalu mendoakan Efan bahagia di sana. Nanti ibu dan Bapak pasti menyusul ke sana. Nanti, ya. Sabar ya, Nak," ucap Sanadi tersenyum sangat tipis sekali.

Aminah mengusap punggung suaminya lembut, sambil sedikit menarik lengan Sanadi agar mau berdiri dari posisinya. Perlahan Sanadi mengikuti tarikan Aminah hingga ia berdiri dengan tegap.

"Kita pulang, Pak. Nggak baik menumpahkan banyak air mata di kuburan orang yang baru meninggal. Nanti dia berat ninggalin kita, Pak. Biarkan sudah Efan tenang. Kita juga harus menenangkan diri di rumah," ucap Aminah.

Sanadi tak menyahut, tetapi tubuhnya perlahan berbalik. Aminah memegang erat lengan suaminya berjalan menjauhi makam Efan. Nana dan Danar mengikuti mereka dari belakang. Hati mana yang tak sakit meninggalkan seorang anak sendiri di tempat yang gelap itu. Istilahnya terdengar seperti itu, seolah-olah orang yang dikubur itu masih hidup. Sanadi dan Aminah berat sekali meninggalkan tempat itu, tetapi kewarasan masih membentengi mereka. Beruntung masih ada yang bisa membuat manusia berpikir tentang sebuah takdir, terutama soal kematian. Bagaimanapun orangnya, siapapun dia, dan dari kasta manapun dia pasti akan menemui kematian dengan cara yang berbeda-beda. Hanya menunggu waktu, bukannya tidak akan terjadi.

***

Dua orang polisi mendatangi rumah Sanadi pagi sekitar pukul sembilan. Nana yang membuka pintu kaget, ia menebak kedua polisi tersebut ingin membahas tentang kasus kematian adiknya.

"Permisi, Dek. Bisa kami bertemu dengan pak Sanadi atau ibu Aminah?" tanya salah satu polisi berambut cepak.

"Kata ibu kalau ada polisi, bilang kami nggak mau bahas soal kematian Efan, Pak," ucap Nana jujur.

Kedua polisi itu berpandangan dengan tatapan bingung. Jawaban Nana sungguh di luar ekspektasi mereka.

Lihat selengkapnya