ELOK BERDARAH

Mona Cim
Chapter #5

KETAKUTAN SANADI

Aminah sama sekali tak mempermasalahkan Sanadi tak memberinya uang untuk beberapa hari ini karena tidak bekerja. Hanya saja, Aminah tak bisa membiarkan suaminya terganggu kewarasannya karena kehilangan putra mereka. Aminah membuat secangkir kopi hitam, lalu membawanya ke hadapan Sanadi yang sedang duduk melamun di tempat yang sama, pintu dapur yang menghadap langsung dengan sungai.

"Pak, minum dulu mumpung masih hangat," ucap Aminah.

Sanadi menoleh pada kopi tanpa gairah. Tangannya meraih kopi itu lalu menyesapnya sedikit. Biasanya Sanadi menunjukkan reaksi yang bagus ketika menyesap kopi hitam, tetapi kini sudah berbeda.

"Malam ini kita memperingati tiga hari kepergian Efan. Kamu nggak mau bantu sebar undangan, Pak? Danar sudah berangkat bekerja," ucap Aminah.

Sanadi tak langsung menjawab, tatapannya nanar ke depan dengan mata berkaca-kaca. "Aku belum siap ditanyai warga, Aminah. Aku tak mau siapapun ungkit soal Efan. Aku tak bisa tahan emosionalku. Rasanya air mataku akan merembes begitu saja ketika seeorang mengingatkan aku dengan kematian anak kita. Aku baru tahu hatiku serapuh ini, Aminah. Aku ternyata tidak sekuat kamu," tutur Sanadi menangis pilu. Beliau bahkan tak dapat menahan mulutnya untuk mengeluarkan suara isak tangis menyakitkan itu.

Aminah mengusap punggung suaminya dengan rasa empati yang sangat tinggi. Beliau juga ikut sakit hati mengingat kematian anaknya sekaligus melihat kehancuran suaminya.

"Pak, ingat Allah, Pak. Ingat kita hanya manusia yang menjalankan peran yang diberikan Allah sesuai skenario terbaik yang diberikan untuk kita. Berlebihan dalam berduka itu tidak baik, Pak. Suatu saat kita juga akan dijemput dengan cara yang tidak pernah kita duga," ungkap Amninah menatap tulus sang suami. Kemudian, Aminah kembali melanjutkan, "Apa kamu tega melihat aku hancur dua kali? Hancur kehilangan putraku dan hancur melihat keputusasaanmu?"

Mendengar perkataan istrinya, membuat Sanadi tertunduk. Aminah beranjak dari dapur meninggalkan Sanadi yang sibuk dengan pemikirannya sendiri. Aminah berjalan menuju ruang tengah, ia meraih tumpukan undangan untuk memperingati tiga hari kepergian anaknya. Aminah memutuskan untuk membagikan sendiri undangan tersebut kepada warga.

Aminah mendatangi rumah-rumah warga dengan berjalan kaki. Beberapa rumah yang di datanginya hanya menyambut undangan itu dengan senyum ramah. Namun, tak sedikit tetangga yang mengungkit kembali kejadian tiga hari yang lalu itu.

"Nggak terasa sudah tiga hari aja ya, Bu Aminah. Masih nggak nyangka Efan pergi secepat itu," ucap wanita berhijab cokelat dengan tubuh gempal itu.

Aminah hanya tersenyum tipis menanggapinya.

"Sudah disediki polisi belum, Bu? Bu Aminah harus lapor kalau belum diusut sama polisi juga," tanya wanita berambut pirang berdaster itu.

"Betul tuh, Bu. Kita sebagai orang tua harus menuntut keadilan untuk anak kita," celetuk wanita berhijab hitam.

Lihat selengkapnya