ELOK BERDARAH

Mona Cim
Chapter #10

SEPATU

Hari ini genap 7 hari meninggalnya Efan. Aminah disibukan dengan kegiatan memasak untuk acara nanti malam. Orang tuanya yang berasal dari Aceh baru saja bisa datang pada acara 7 harian ini karena kendala keuangan. Kedua mata Aminah yang sedikit membengkak menjadi bukti seberapa banyak ia menangis tadi malam ketika bercerita dengan ibunya—Zainab—tentang kematian anaknya. Malam itu Zainab menumpahkan air matanya, menyesal karena tak sempat bertemu dengan cucunya untuk terakhir kalinya. Zainab juga menguatkan mereka dengan mengatakan ujian yang mereka hadapi ini Allah berikan karena mereka mampu menghadapinya. Semua orang akan berpulang, termasuk mereka yang masih hidup ini. Ajal tak memandang umur kita baru mencapai angka berapa, tetapi ajal akan datang sesuai janji hidup kita tentang kapan terakhir kali hidup di dunia.

Zainab memasukan sedikit garam lagi pada masakannya, lalu mencicipi sedikit. Ketika rasa masakan itu sudah pas, Zainab kembali mengaduknya dengan spatula agar lebih merata.

"Biar Inah, Bu, yang lanjutkan. Ibu istirahat aja," ucap Aminah pada ibunya yang telah sepuh. Beliau sudah berusia 74 tahun.

Zainab pun memberikan spatula itu pada Aminah. Zainab menjauh perlahan dari kompor, duduk di lantai dapur untuk meneruskan pekerjaan Aminah memotong mentimun.

"Sanadi mana, Nah? Kok Ibu tidak melihatnya dari tadi pagi," tanya Zainab.

"Inah suruh kerja, Bu," sahut Aminah.

"Loh, kenapa? Hari ini kan hari 7 harian Efan, Nah."

"Justru itu, Bu. Sanadi pasti kepikiran dengan Efan. Kalau di rumah bakal murung terus di dapur menghadap sungai. Jadi Inah suruh narik beca lagi supaya ada kegiatan," ujar Aminah menjelaskan dengan raut wajah sedih.

"Ingatin terus dia, Nah. Jangan bosan kasih pencerahan pada Sanadi. Jangan sampai Sanadi hilang arah," kata Zainab. Beliau beranjak dari duduknya menuju keran untuk membasuh tangannya.

"In Shaa Allah, Bu."

Sementara itu, Sanadi mangkal di dekat siring dengan becanya. Tatapan kosong ke depan sambil mengipaskan topi kain pada lehernya. Tak ada hal lain lagi yang membuat Sanadi melamun seperti ini selain tentang putra bungsunya yang telah tiada.

"Pak, nanti kalau dapat uang lebih belikan Efan sepatu, ya. Kemarin kehujanan pas di jalan pulang, koyaknya makin besar," kata Efan menghampiri Sanadi yang duduk di depan pintu rumah.

Sanadi menoleh ke samping di mana Efan datang menunjukan sepatunya yang sobek. "Nanti minta jahitkan dulu sama Ibu. Kalau ada lebih Bapak belikan. Bulan ini masih belum bisa, Fan."

"Iya, Pak. Nanti aja kalau ada uangnya. Efan mau ke rumah Maulana dulu, Pak," ucap Efan kembali menaruh sepatunya di samping pintu.

"Sudah makan, Fan?"

Lihat selengkapnya