ELOK BERDARAH

Mona Cim
Chapter #11

KENANGAN MAULANA

Maulana sampai di rumahnya. Ia berjalan masuk ke dalam dengan langkah lesu. Maulana duduk di lantai sambil menatap kotak sepatu pemberian dari ayahnya Efan. Pemuda itu membuka kotak sepatu tersebut dengan perasaan yang teramat perih. Air mata Maulana luruh begitu saja melihat sepatu baru itu. Harusnya sepatu itu Efan yang pakai. Terbayang di benaknya bagaimana senangnya Efan memakai sepatu baru itu. Mengingat kenangan terdahulu membuat Maulana semakin banjir air mata. Ia ingat kenangan tentang sepatu Efan beberapa bulan yang lalu. Maulana pun menerawang mengingat detail kenangan itu. Saat itu mereka baru saja masuk SMA. Mereka pernah pulang jalan kaki ketika hujan turun dengan lebat.

Saat pulang sekolah tiba, hujan turun dengan begitu lebat. Maulana merasakan perutnya sudah keroncongan karena hanya makan sedikit ketika pagi.

"Lapar banget aku, Fan. Apa nembus hujan aja, ya? Besok hari Sabtu pakai baju pramuka juga," tanya Maulana pada Efan di sampingnya yang tengah berdiri di samping tiang koridor.

"Nanti tas basah. Kalau badan nggak apa basah, malah seru mandi hujan," sahut Efan."

"Pakai plastik. Aku beli plastik dulu deh di kantin," ujar Maulana hendak pergi.

"Beli dua, Lan. Buat aku satunya. Mau mandi hujan juga," pinta Efan yang langsung diacungi jempol oleh Maulana.

Tak lama Maulana membawa pastik besar. Ia menyerahkan satu untuk Efan.

"Pulun yang bener biar nggak ada masuk air. Untung hari Jumat, buku bawa dua aja," celoteh Maulana sambil memulun tasnya dengan plastik itu dan mengikatkan dengan erat-erat. Efan pun melakukan hal yang sama.

Dalam hitungan ketiga dua pemuda itu berlari menembus hujan dengan tawa yang ceria. Kecepatan mereka berlari membuat cipratan besar dan mengenai para gadis yang berjalan pelan membawa payung. Teriakan para gadis itu membuat tawa mereka semakin lebar meninggalkan lingkungan sekolah.

Efan berlari lebih laju dari Maulana. Tiba-tiba tawa Maulana pecah melihat Efan menghentikan laju larinya ketika melihat sepatunya mengangga lebar. Mereka tertawa terbahak-bahak melihat sepatu bak buaya menganga itu.

"Astaga—hahaha! Sepatu jadi buaya!" Maulana tertawa puas.

Efan pun sama, ia tertawa tanpa tersinggung sama sekali. "Gawat ini, Lan. Haha. Bisa kena marah aku sama ibu kalau ketahuan bawa buaya hitam di kaki."

Maulana tertawa lagi, ia menarik Efan untuk berteduh di emperan toko. Maulana mengeluarkan getah karet dari tasnya, lalu membungkus tas itu dengan erat-erat kembali.

"Nah, pakai ini buat sementara. Besok nanti pakai sendal aja, Fan. Bilang sama guru kalau sepatu lagi dijahit," ujar Maulana menyarankan.

"Iya kali, ya." Efan berjongkok untuk memasang karet itu pada sepatunya. Butuh tiga karet untuk membungkam mulut buaya itu.

Lihat selengkapnya