ELOK BERDARAH

Mona Cim
Chapter #14

PONSEL GENGGAM

Hari Jumat setelah pulang sekolah beberapa teman sekolah Efan bersama Bu Fatimah berkunjung ke pemakaman Efan. Tak terkecuali Maulana, Rifky, Edo, dan Indah. Saat pertama kali mendatangi makam Efan, mereka dianjurkan membaca surah yasin oleh Bu Fatimah. Hanya Edo yang tak membaca sebab ia adalah non muslim.

Sambil mendengarkan lantunan ayat suci tersebut, Edo menunduk dalam dengan mata berkaca-kaca. Remaja itu menatap gundukan tanah di hadapannya dengan air mata yang meleleh begitu saja

'Hiks'

Edo terisak nyaring. Beberapa temannya dan Bu Fatimah pun menoleh. Bu Fatimah yang berjongkok di samping Edo langsung mengusap pundak muridnya itu. Lantunan tersebut terus berlanjut walau hanya tersisa waktu sekitar tiga puluh menit sebelum shalat Jumat.

Mereka selesai membaca surah yasin dengan hikmat. Beberapa dari mereka menaburkan bunga di atas makamnya Efan dengan teratur.

"Kalau Efan ada salah atau hutang sama kalian, tolong dimaafkan dan diikhlaskan. Jangan menjadi pemberat apapun untuk Efan di sana. Suatu saat kita pasti ada di posisi Efan ini. Terbaring di bawah tanah sebagai tempat peristirahatan terakhir. Kalau pun tak bisa mengikhlaskan bisa datangi keluarganya untuk menagihnya," ucap Bu Fatimah menasehati anak-anak muridnya.

"Dengan apa yang terjadi pada Efan ini, kita bisa lebih mawas diri. Kapan saja kita bisa dijemput oleh Maha Kuasa. Tanpa kita duga sebelumnya, walau kita masih muda. Jadi Ibu harap kalian bisa memetik hikmah dari kejadian ini,"lanjut Bu Fatimah seraya menghapus jejek air matanya.

"Iya, Bu," sahut beberapa murid.

"Nah, setelah ini kalian langsung pulang ke rumah. Yang laki-laki jangan tinggalkan shalat Jumat setelah ini," ucap Bu Fatimah seraya berdiri dari duduknya.

Bu Fatimah beserta para muridnya pun pergi meninggalkan pemakaman Efan, menyisakan sosok Indah Rahayu yang ingin lebih lama di sana. Gadis itu berjongkok di samping makam Efan sambil menangis pilu.

"Maafin aku, Fan. Maafin aku, ya," ucap Indah terisak keras.

"Jaket kamu masih ada di aku, Fan. Rencananya mau aku balikin pas kita ketemuan. Tapi kok kamu malah pergi, Fan?" Indah meraba gundukan tanah yang penuh dengan bunga itu. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya. Melihat nama Efan tertera pada batu Nisan membuat tangisan itu semakin pilu. Walau hanya sebatas teman, tetapi Indah begitu kehilangan

Di sisi lain, Edo memasuki rumahnya dengan perasaan tak karuan. Matanya sembab berjalan menuju kamar. Remaja laki-laki itu membuka lemari, mengambil sesuatu dari bawah lipatan bajunya. Sebuah ponsel kecil berwarna abu-abu Edo genggang dengan erat. Ponsel itu milik temannya yang tak lain adalah Efan. Edo mengingat kembali bagaimana ponsel itu ada di tangannya. Waktu itu, Efan dan Bagas berkelahi hingga membuat ponsel Efan jatuh ke tanah. Edo memungut ponsel itu sebelum kedatangan sekelompok preman yang dikejar oleh tiga orang pria berbadan cukup kekar yang diyakini mereka adalah seorang polisi. Edo pun ikut melarikan diri bersama teman-temannya saat itu.

Lihat selengkapnya