ELOK BERDARAH

Mona Cim
Chapter #17

DOA SANADI UNTUK EFAN

Aminah mendengar suara isak tangis dari kamar milik Efan dan Danar. Seingat Aminah, Danar sedang menginap di rumah sepupunya yang akan mengadakan pernikahan. Lalu, siapa yang menangis itu? Aminah sangat penasaran dan waswas.

Jam dinding sudah menunjukan pukul 2 dini hari. Niatnya ingin buang air kecil ia tunda. Aminah pun menyingkap tirai kamar anak laki-laki tersebut. Tampaklah seorang pria tua sedang melakukan shalat malam. Dialah Sanadi, suaminya sendiri. Rupanya Sanadi sedang berdoa hingga menangis pilu. Aminah tak beranjak dari sana, hatinya mencelos mendengar doa yang suaminya panjatkan.

"Ya Allah ... jika memang ini takdir anak hamba yang meninggal di usia muda, tolong ... tolong berikanlah tempat terbaik untuk dia. Saya sebagai orang tuanya belum sempat membahagiakan dia, belum sempat menuruti apa yang dia mau, dan belum sempat menjadi orang tua yang baik buat dia," ucap Sanadi menjeda doanya kala air mata dengan deras mengucur. Punggung tangannya ia gunakan untuk menghalau air mata yang jatuh. "Hamba tahu bahwa bersedih berlebihan itu tak baik, Ya Allah. Hamba tahu seharusnya hamba mengikhlaskan kepergian putra hamba. Tapi hamba rasanya tak mampu, Ya Rabb. Hati hamba sangat pengecut. Hati hamba sangat mudah tergores. Ampuni hamba, Ya Allah ... berikanlah kemudahan bagi hamba untuk merelakan kepergian Efan. Aamiin Aamiin Ya Rabbal 'alamin."

Aminah menghapus jejak air matanya. Buru-buru ia menjauh dari sana sebelum Sanadi melihat keberadaanya.

Sanadi melipat sajadah milik Efan, lalu menyimpannya di atas lemari yang tak begitu tinggi. Tak sengaja Sanadi menangkap sebuah figura yang berisi foto dirinya, Aminah, Nana, dan Efan. Dalam foto itu Efan masih berusia sekitar 2 tahun dalam gendongan Aminah. Sanadi jadi terbayang kenangan masa lalu beberapa tahun silam.

Flashback

Untuk pertama kalinya keluarga kecil Sanadi liburan bersama. Sanadi mendapat beberapa dari hasil penjualan tanah milik almarhum ayahnya. Sanadi pun berinisiatif mengajak mereka ke kebun binatang.

Danar membawa kamera milik pamannya. Meminjam sehari untuk mengabadikan moment berharga mereka. Aminah terlihat senang sekali melepas Efan berjalan, lalu mengajak melihat angsa, burung, dan monyet. Terakhir mereka memutuskan untuk foto-foto. Dari moment foto-foto itulah terciptalah banyak kenangan.

Danar mencetak foto-foto tersebut, lalu membawanya pada ibu dan bapaknya. Di ruang tengah mereka melihat-lihat foto tersebut dengan senang hati.

"Coba kamu lihat, Nah. Efan beneran beda dari yang lain. Paling putih sendiri," ucap Sanadi memperlihatkan foto Efan kecil dengan senyuman bangga.

"Iya, Pak. Makanya Bu Ani biasa negur. Efan anak siapa? Kenapa beda sendiri. Katanya gitu. Katanya juga tak ada yang mirip dengan Efan di keluarga kita," ungkap Aminah juga tersenyum bangga.

"Tapi matanya mirip Bapak," celetuk Danar. "Putihnya yang enggak," lanjutnya tertawa.

"Bapak dan kamu tuh hitam manis. Tak putih tapi manis," sahut Sanadi menghibur hati.

Nana datang membawa Efan yang sedang memakan biskuit, lalu bergabung dengan mereka. Aminah meraih tubuh mungil Efan untuk duduk di pangkuannya.

"Efan nanti besar mau jadi apa, Nak?" tanya Sanadi mengelus dagu anak bungsunya.

Lihat selengkapnya