Sanadi sudah lebih baik sekarang. Usai sarapan bersama keluarga, Sanadi dan Danar lebih dulu berangkat bekerja. Seperti biasa, Nana mengantarkan kue warung-warung titipan ibunya. Di kampung tersebut, ada tiga warung yang Aminah titipkan kue buatannya. Nana hanya mengantar kue onde-onde ke warung dekat mushala sebelum berangkat bekerja.
"Bu, ini kuenya, ya," ucap Nana meletakkan napan bulat berisi kue yang sudah dihitung jumlahnya itu ke meja.
"Siap, Na," sahut pemilik warung.
Tiba-tiba seorang wanita berkerudung cokelat menyeletuk sambil menatap Nana. "Na, gimana keadaan bapakmu? Kemarin kata suami saya Pak Sanadi sakit."
Nana mengangguk. "Iya, Bu. Kemarin bapak sakit, nggak enak badan katanya. Tapi ini sudah baikan kok, Bu. Bapak mulai narik becak lagi hari ini," tuturnya menjelaskan.
"Kasihan ya Pak Sanadi sama bu Aminah. Pasti berat banget melupakan Efan. Anak bungsu loh itu, paling disayang biasanya," ujar wanita berkerudung merah.
"Iya pasti terpukul banget," sahut penjaga warung.
"Na, nggak ada yang tahu penyebab Efan tenggelam di sungai?" tanya wanita berkerudung cokelat.
Nana dengan sabar menggeleng. Kendati hatinya meronta tak ingin membahas hal itu lagi.
"Iya sih, katanya Pak Sanadi nggak mau kasusnya diselidiki."
"Tapi di sana emang tempatnya orang mati tenggelam. Sebelumnya ada juga yang mati tenggelam di sana. Tergelincir aja katanya terus kecebur. Mungkin nggak bisa berenang atau apa, ya. Ada juga yang bilang di sana ada penunggunya. Di sungai itu, ada penunggunya," celoteh wanita berhijab merah lagi.
"Oh bisa jadi, ya. Bisa jadi tuh. Ada itu binatang yang bisa menghisap sesuatu ke bawah. Binatang atau makhluk apa gitu nggak tau juga. Tapi pernah denger," ujar penjaga warung lagi.
Nana merasa sudah tak dibutuhkan di sana. Mereka asik berceloteh satu sama lain. Akhirnya Nana memilih undur diri saja.