Pemuda yang bernama Bagas itu duduk dengan raut wajah tak senang dan terkesan angkuh. Meski begitu, Galam mengetahui hal yang coba Bagas tutupi. Nyatanya Galam tahu Bagas sedang menutupi rasa gugupnya dengan tampang dibuat sangar itu. Galam seperti biasa, santai tapi berwibawa.
"Saya yakin kamu tahu maksud saya nahan kamu di sini, Bagas," ucap Galam memulai obrolan mereka.
Bagas berdecih. "Kenal aja enggak," sahutnya remeh.
"Saya tahu kamu ada di rumah ketika saya mendatangi rumahmu. Saya lihat kamu keluar rumah saat tahu saya sudah pergi," ungkap Galam. Sontak saja ada perubahan mimik wajah dari pemuda itu walau sangat samar. Galam bisa menangkap dari gerak-gerik mata Bagas yang sedikit goyah ketika fakta itu ia ungkapkan.
"Intinya aja deh Om mau apa? Saya masih ada urusan sama teman-teman saya. Nggak guna banget di sini," tanya Bagas dengan nada cukup ketus. Namun, Galam menanggapinya dengan kekehan pelan.
"Tentu saja wawancarai kamu."
"Wawancara apa? Soal Efan yang meninggal? Itu nggak ada sangkut pautnya sama saya," sahut Bagas langsung menebak pada intinya. Ah, Galam suka reaksi musuh yang seperti ini.
"Wawancara yang saya lakukan bukan berarti saya nuduh kamu. Saya cuma mau mengumpulkan informasi yang akurat saja. Jadi kamu harus menjawab dengan jujur biar informasi lainnya berkesinambungan dengan apa yang kamu ungkapkan hari ini," jelas Galam.
Bagas tak menyahut lagi, ekspresinya tampak keras menatap korek api di tangannya. Memutar-mutar benda itu untuk mengusir kecanggungan yang Galam ciptakan.
"Saya mau kamu jelasin kronologis kejadian saat kalian awal muda berkumpul di siring itu. Kamu jangan takut, saya nggak bakal penjarakan kamu. Orang tua Efan baik sekali nggak mau nuntut pelaku. Tapi saya, saya sebagai keluarga Efan pantas tahu bagaimana kemalangan tersebut terjadi pada Efan. Silakan kamu jelaskan, Bagas." Galam menatap Bagas dengan saksama sembari menunggu tanggapan dari pemuda itu.