Rumah Efan kembali dipenuhi oleh para tetangga yang datang pada peringatan empat puluh hari meninggalnya Efan. Itu berarti sudah satu bulan lebih berlalu. Masih banyak yang merasa kehilangan, masih basah kenangan di pikiran, dan masih butuh waktu untuk melupakan.
Usai pembacaan doa arwah, Sanadi memilih masuk ke kamar karena rasa pening yang tak tertahankan. Galam dan Danar yang menggantikan beliau untuk menemani para tamu makan hingga berpamitan pulang setelah selesai acara.
Nana dan sepupunya—Marni—membantu istri Galam membersihkan ruang tamu. Mulai dari mengangkat piring-piring, mengelap lantai, dan menyapunya hingga bersih. Ada tiga anak kecil juga yang berlarian di sekitarnya.
Aminah keluar dari dapur. Wanita tua itu menelisik ruang tamu, hanya menemukan Galam, Danar, dan Imran saja. Keberadaan Sanadi tak ada di sana. Lantas, Aminah mendekati mereka untuk menanyakan keberadaan suaminya.
"Danar, mana bapakmu?" tanya Aminah.
Galam menyahut terlebih dahulu sebelum Danar menjawab pertanyaan Aminah. "Mas Sanadi tadi masuk kamar duluan habis baca doa arwah. Kayaknya lagi sakit. Pusing katanya," jelasnya.
"Oh gitu. Ya sudah, mau nyamperin dia dulu," sahut Aminah seraya pergi dari hadapan mereka.
Aminah memasuki kamarnya bersama Sanadi, tampak suaminya sedang bergelung dengan sarung dengan rona wajah pucat pasi. Aminah pun duduk dan memeriksa keadaan suaminya. Hawa panas menjalar di tangannya ketika menyentuh dahi Sanadi.
"Pak, meriang, ya?" tanya Aminah khawatir.
Sanadi membuka matanya, bukannya menyahuti pertanyaan sang istri, Sanadi malah mengutarakan isi hatinya saat ini.