Kebenaran akhirnya terungkap. Wajah-wajah frustrasi para tersangka menunduk lesu di pengadilan. Galam mendukung gugatan Sanadi atas kematian Efan. Hingga tibalah waktu persidangan. Semua alasan dan dalih yang mereka ucapkan seolah tak berguna, sebab lebih kuat kejahatan yang mereka lakukan ketimbang alasan murahan itu. Bagaimana seseorang bisa menyakiti temannya bahkan sampai membunuh hanya karena seorang wanita? Padahal sudah jelas Efan tak bersalah dalam hal ini, tetapi mereka dibutakan oleh tipuan setan yang terkutuk. Ketegangan di pengadilan akhirnya berakhir ketika Ari akhirnya mengakui kesalahannya. Bagas tak menyangka Ari memilih untuk menyerah. Bagas tak tahu saja betapa frustrasinya Ari setelah tahu kabar meninggalnya Efan karena ulahnya.
Ari disuruh menceritakan dengan jelas kronologis kejadian dari awal hingga akhir. Juga tentang motif pembunuhan tersebut. Ari dengan tatapan menerawang menatap lantai dengan mata bengkak itu pun mulai bercerita.
Ari Pov
Saya sakit hati Nia menolak saya untuk kedua kalinya. Alasannya tetap sama, karena Nia menyukai Efan. Saya tak tahu mengapa saya sebenci itu dengan Efan, padahal saya juga tahu bahwa Efan tak pernah menggoda Nia lebih dulu. Namun, saya tetap tak menerima Nia lebih memilih Efan dari pada saya. Teman-teman saya bilang itu karena Efan lebih tampan dari saya. Dari situ saya berpikir, jikalau Efan tak ada mungkin Nia lebih memilih saya. Efan harusnya tak ada di sekolah kami.
Seminggu setelah penolakan Nia, saya mendengar rencana Bagas untuk memberi perhitungan pada Efan dengan cara membuat rekayasa maling dikejar polisi dan berakhir mereka juga lari ketakutan. Bagas akan membawa Efan ke sungai dan menghajarnya di sana. Saya mendengar rencana itu dari teman Bagas yang merupakan teman saya juga. Akhirnya saya membuat rencana sendiri. Saya memantau mereka dan mulai mengikuti alurnya.
Waktu itu, rencana Bagas berjalan dengan sempurna sesuai harapannya. Bagas membawa Efan menceburkan diri ke sungai. Saya buru-buru ikut menceburkan diri juga. Waktu itu sudah gelap, lampu jalan juga tak ada yang menyala. Waktu saya menceburkan diri, saya menepikan diri untuk memantau eksekusi Bagas terlebih dahulu. Bagas memukul Efan berkali-kali, lalu Efan membalasnya sesekali. Saya kecewa melihat Bagas menyelesaikan perhitungannya dengan cepat, padahal saya berharap Bagas sungguh membuat Efan habis hari itu juga. Saya lihat Efan sudah kewalahan, tetapi wajahnya itu mengingatkan tentang penolakan Nia terhadap saya. Begitu Bagas naik ke atas, saya langsung menyelam. Saya tarik kaki Efan dari bawah hingga dia tenggelam.
Ketika melakukan hal tersebut, saya merasa ini salah. Saya akhirnya melepaskan kaki Efan dan muncul kepermukaan. Saya gugup sekali melihat Efan tak muncul lagi. Saya coba raba dengan kaki saya, sempat menyenggol sesuatu dan kehilangan Efan. Waktu itu saya gugup sekali dan lekas naik ke atas sebelum ada orang yang melihat saya.
Saya ... saya tak ada niat sungguh-sungguh membunuh, tapi saya berakhir membunuhnya. Sejak kejadian itu saya tak berani kemana-mana. Saya nyaris gila karena terus terbayang-bayang polisi mendatangi rumah saya. Dua hari berlalu ... akhirnya saya mendengar kabar kematian Efan. S-saya ... saya menyesal dan menangis sejadi-jadinya. Saya tidak berani bilang pada siapapun. Saya tidak menjawab pesan teman saya yang mengajak nongkrong atau menanyakan kenapa saya tidak sekolah. Saya sungguh frustrasi akan hal itu. Saya merasa dihantui oleh rasa bersalah. Akhirnya ... saya mencoba sesuatu yang baru untuk meredakan rasa itu. Saya mulai mengonsumsi narkoba dan minum-minuman memabukkan untuk mengusir rasa bersalah saya.