Suasana bandara hari itu lumayan panas. Bukan, sebenarnya bukan karena matahari yang memanggang tanpa henti—meskipun bola raksasa itu turut andil tentang ketidaknyamanan Razen—tapi juga karena Riza.
Kakak laki-lakinya itu masih sibuk bermonolog dengan emosi, menyalahkan kejadian empat bulan lalu yang seharusnya sudah ia telan sejak lama. Hati Razen memanas, ingin rasanya menjambak saudara kandung yang lebih mirip musuh baginya itu. Sayangnya, Razen masih sangat mencintai hidupnya yang terlalu penuh kesempurnaan. Lebih jauh lagi, alasannya berada di sini bukanlah hal sembarangan.
"Lo ngebacot sendiri fungsinya apa, Jing?"
Riza menoleh kesal dan membalas, "Diem, mau lo gue anterin ke perbatasan akhirat?"
Razen tak membalas lagi. Riza terlalu menyeramkan untuk masuk dalam perdebatan tidak jelas di dunia remaja labil seperti dirinya.
Gue cekik mampus lo, Bang.
Merasa kesal, Razen memilih mengedarkan pandangan. Suasana resto mungil yang berada di kawasan bandara, tempat keduanya meneduh sambil menunggu waktu yang tepat untuk pulang. Sebenarnya di dalam cukup dingin, tapi Riza—dengan segala perintahnya yang tidak bisa ditolak—berkehendak untuk duduk di sisi luar dengan alasan pendingin udara di dalam ruangan bisa membuatnya mual. Dan Razen tidak merasa cukup baik hati untuk membopong saudaranya itu sampai ke rumah.
"Lo nunggu apaan lagi, sih, Za?"
Riza mendongak dari layar ponsel yang tengah menjadi fokusnya, lalu membalas tajam, "Gue nunggu orang yang udah bikin masalah sama gue." Ia melanjutkan, "Enaknya gue santet atau kasih doa-doa biar muntah paku?"
Razen memutar mata. "Imajinasi lo sadis banget. Percaya sama gue, dia nggak mungkin ada di sini. Ada milyaran manusia dan lo berharap ketemu dia di bandara kecil ini?."
"Apa yang nggak mungkin, Zen? Semua hal yang terjadi sama gue, dulu gue anggap nggak mungkin," balas Riza. Tatapannya menusuk tajam, dan Razen memilih membuang muka.
"Gue ke toilet bentar," cetus Razen sambil berlalu. Daripada harus menyaksikan mode sangar Riza, lebih baik ia melarikan diri. Pria dingin pendendam seperti Riza itu memang tak mudah melupakan semua hal yang pernah terjadi padanya. Apa yang dulu pernah menjadi miliknya, harus tetap ia miliki bagaimanapun caranya. Dan apapun yang hilang dari kehidupannya, harus kembali dia dapatkan apapun risikonya.
Menyeramkan.
Razen membasuh wajahnya dengan air mengalir di wastafel, lantas menatap wajah kusutnya dari balik pantulan kaca. Hari yang melelahkan. Ia ingin segera pulang dan tidur. Dan makan. Dan bertemu dengan sosok yang amat dirindukannya.
Mendadak, ponsel hitam yang terselip di dalam sakunya bergetar. Razen segera mengelap tangannya secara asal pada celana denim yang dikenakannya, lalu mengeluarkan benda pipih tersebut. Sebuah pesan singkat dari Riza mengambang di layar notifikasi.
Riza Setan (1 message)
Balik, gue udah males duduk
Razen menghela napas kesal. Riza dan segala ke-random-an nya yang menyebalkan itu cukup menyusahkan.
Ponselnya berdering, memunculkan notifikasi panggilan dari Riza. Ah, sial. Razen benar-benar merasa diteror.