Elusif

NAA
Chapter #1

#1 Getir Kehidupan

Waktu terus berlanjut. Kehidupan akan terus kita jalani. Kisah-kisah akan selalu terukir. Namun jangan melupa bahwa semua kisah, semua cerita akan berakhir. Entah berupa akhir yang bahagia atau malah diakhiri dengan kepiluan

Gentala

Pagi ini, kepasrahan menyelimutiku. Kuserahkan segenap takdir hidup pada Ia sang perakit kodrat. Meski duka kubendung, tak lekang aku menaruh harap. Aku sudah tak mampu menerka segala rencanaNya. Entah apa, kupikir Ia terlampau bengis padaku. Merenggut segala yang kumiliki, memejamkannya teramat cepat. Aku lelah, untuk kesekian kalinya garis hidup mempermainkanku. Ingin rasanya menghilang sekejap. Menghilang dari bayang-bayang kegelapan, yang kerap kali mengikuti kemanapun kaki melangkah. Perkara silih berganti menghampiri, tak ingin menunggu ataupun memberiku kesempatan. Ya, kesempatan untuk aku menuntaskannya terlebih dahulu. Namun nihil, mereka seakan berlomba, menerobos masuk kedalam hidupku. Memporak-porandakan pendirianku. Bahkan mengoyak keteguhan batin yang susah payah aku bangun kembali.

Setiap insan mengantongi perkaranya masing-masing. Ditikam ribuan luka lalu didekap hangat oleh jutaan kebahagian

Benarkah jutaan kebahagiaan? lalu mengapa aku adalah insan yang mengantongi jutaan luka?. Aku pernah tersungkur, jatuh dan hancur oleh sandiwara kehidupan. Aku adalah insan yang menaungi ruang kepedihan. Kepedihan yang menarikku pada lubang gelap, tempat aku terjerembap dan tak ada terang disana. Ya, ia adalah ruang gelap yang menyimpan segala pilu. Sungguh, segala rupa kesakitan telah aku rasakan.

Serangkaian kisah yang kualami, menjadikanku insan yang melupa. Melupa bagaimana cara meraih bahagia, bahkan melupa cara untuk merasakannya kembali. Saat ini aku sudah lupa cara menghadirkan lagi, rupa rasa yang pernah bernaung dalam diri. Rupanya luka menyilaukan segalanya. Memburamkan sudut pandangku. Mengalihkanku dalam sekejap, membuatku bergerak monoton. Hanya berpusat pada satu titik yang tak pasti. Bergelut dalam kefanaan yang tak menentu.

Namaku Gentala Atma Jaya. Kata ibu, aku ibarat roh naga “harus kuat” katanya. Ibu juga mengibaratkan aku laiknya salah satu Dewa Trimurti. Dewa Brahma, dewa yang berperan sebagai perncipta alam semesta. Memang benar, Gentala sendiri adalah naga dan Atma adalah jiwa atau roh. Sedang Jaya adalah sukses, diambil langsung dari nama ayah. Aku tersenyum getir, kala mengingat ibu menjelaskan rangkaian kata yang ia sematkan pada namaku. Kuaminkan segala maknanya, seperti yang ibu harap aku harus kuat dan sukses. Entah sukses seperti apa yang ibu maksud, toh dari segi materi kami hidup dalam gelimang harta. Mungkin yang kubutuhkan adalah kekuatan, seperti saat ini, lagi-lagi aku kehilangan kekuatanku. Aku tersungkur. Dipukul telak oleh kehidupan kala menatap sendu gundukan merah, yang bertuliskan nama ibu. Belum sempat aku menghilangkan luka yang kuperoleh, aku kembali terpuruk dengan kesakitan yang amat pedih, lebih pedih dari sakit yang sudah-sudah. Aku kehilangan sekaligus, dua perempuan yang amat kucintai.

“Apa yang Tuhan ingin sampaikan untukku? Mengapa Ia memberiku garis hidup seperti ini?”

**

Hari-hari berlalu. Dua tahun sudah kepergian ibu. Aku memilih berkutat dengan segala rutinitasku. Bergelut dengan lembaran-lembaran yang hanya akan mempertebal kantongku, yang bahkan tak kutahu akan aku apakan nantinya. Aku tak pernah menunda pekerjaanku. Jika kulihat lembaran itu bertumpuk pada mejaku, aku segera menuntaskannya. Kupikir ini adalah cara untuk bertahan, agar aku mampu melupakan sejenak segala kesakitanku. Mungkin mempersibuk diri menjadi hobby baruku. Kebetulan aku meneruskan perusahaan yang didirikan oleh kakek dulu. Perusahaan ini bergerak dalam bidang properti yang berfokus pada konstruksi pusat perbelanjaan dan gedung perkantoran yang berlokasi di Surabaya.

Kualihkan atensiku pada berkas-berkas yang bertumpuk di atas meja. Kuraih satu-persatu seraya memfokuskan diri memeriksanya. Aku segera menggoreskan tinta di atas kertas-kertas itu jika aku menyetujuinya. Berkali-kali aku melakukannya. Hingga aku mendengar gemuruh yang berasal dari perutku, sepertinya aku tengah lapar. Kulirik arloji dipergelanganku, rupanya waktu menunjukkan pukul satu siang. Aku bahkan merasa baru dua jam berada dalam ruangan ini, meski sesungguhnya aku berkutat sejak pukul tujuh pagi tadi.

Lihat selengkapnya