“Terkadang jiwa itu perlu diberi makan. Apakah melalui perjalanan spiritual atau malah menemukan orang yang tepat untuk saling terhubung”
**
Gentala
Kubawa tubuhku ke tempat tidur untuk beristirahat. Namun saat ingin memejamkan mata, pikiranku kembali pada sosok Kirana yang sudah kukenal 3 bulan ini. Semenjak aku melihatnya di rumah makan Pak Maman, aku selalu mengajaknya makan bersama. Beberapa kali kami terlibat dalam perbincangan yang membuatku sedikit tahu, bahwa dia peranakan Sulawesi dan Jawa. Tepatnya sang ayah asli Magelang dan ibunya Makassar. Ayahnya seorang guru yang menjadi PNS di Sulawesi, hingga bertemu dengan ibunya. Mereka pun menikah dan menetap di Sulawesi. Saat itu aku cukup terkejut karena dia begitu fasih menggunakan dialek jawa. Rupanya di rumah mereka menggunakan 2 jenis dialek yaitu Jawa dan Sulawesi. Tetapi saat ia melanjutkan sekolah menengah atasnya hingga kuliah di salah satu universitas ternama di Yogyakarta, ia lebih sering berkomunikasi menggunakan dialek Jawa sebab sejak SMA itu pula ia tinggal di Magelang menemani sang nenek di usia senjanya. Dia anak pertama dan memiliki satu adik laki-laki yang saat ini berusia 14 tahun. Ramang namanya. Kirana begitu lembut dan sangat menyayangi keluarganya.
Pikiranku masih melayang saat pertama aku berbicara dengannya, kala itu aku sungguh gugup. Tanpa ia sadari sesungguhnya aku mencoba terlihat rileks dihadapannya. Saat itu aku mengembalikan dompetnya yang tertinggal. Namun aku malah mencuri kesempatan untuk menelisik wajahnya, dia begitu teduh dengan mata yang sayu. Rambutnya sebahu dan senyumnya yang begitu tulus. Sesaat sebelum makan, aku mendengarnya bercakap dengan ibunya. Ingin sekali aku menyuruhnya untuk mengeraskan volume ponselnya. Sudah pasti aku juga ingin mendengar perhatian ibunya padanya. Namun itu tidak mungkin aku lakukan, betapa tak sopannya aku jika meminta hal seperti itu padanya. Padahal aku baru mengenalnya bahkan tak lebih dari 7 menit. Aku terkekeh saat mengingat kejadian itu.
Suatu ketika aku memberanikan diri meminta padanya agar aku bisa mendengarnya saat ia bercakap dengan ibunya. Dengan senang hati dia menganggukkan kepalanya. Saat ibunya menelfon, ia mengaktifkan speaker ponselnya dan mengatur volumenya agar dapat kudengar. Ada satu nasihat ibunya yang masih membekas dalam ingatanku.
“Nak, tolong jaga diri ya. Jaga baik-baik hubunganmu dengan tuhan, alam semesta dan juga sesama manusia” ucap ibu Kirana kala itu, dimana ini adalah wejangan penutup dari obrolannya bersama Kirana.
“Ah, aku menyukai setiap wejangan yang ibumu berikan” aku membuka percakapan dengan Kirana
“Ibu memang seperti itu, ia selalu mengusahakan setiap hari untuk menasihatiku. Kalau tak sempat bercakap melalui telfon. Ia pasti mengirim nasihatnya melalui pesan” jawab Kirana
“Aku pasti akan mengingat nasihatnya bahwa kita harus menjaga hubungan baik pada tuhan, alam semesta dan juga sesama manusia”
“Itusih dari aku masih kecil, ibu selalu mengingatkanku. Harus menjaga hubungan baik pada tuhan jangan sampai Ia murka pada kita. Menjaga alam semesta karena tuhan memberi kita kehidupan melalui alamnya. Menjaga hubungan sesama manusia karena kita tak dapat hidup sendiri melainkan saling membutuhkan satu sama lain, bahkan ketika matipun kita akan tetap membutuhkan orang lain” aku terkesiap mendengar tuturnya. Sungguh ibunya perempuan yang hebat, mampu mendidik sosok yang ada di hadapanku kini menjadi pribadi yang amat bijaksana.
Aku tak menyangka, dia dan ibunya akan bernaung dalam kepalaku. Aku kagum pada kelembutannya dan aku iri pada ibunya yang begitu perhatian.