“Hati siapa yang tak akan luluh jika jutaan ketulusan menghampirinya”
**
Kirana
Usai Genta mengantarku. Aku segera membasuh tubuhku yang sedikit gerah. Kupikir tubuhkulah yang perlu kubasuh, namun ternyata pikirankulah yang mesti kudinginkan dari segala tanya yang berkecamuk. Ya, sejak aku tahu kebenaran tentang Genta, kepalaku penuh dengan rentetan tanya. Mengapa aku tak menyadarinya selama ini? Bukankah setiap aku sholat ke masjid, dia selalu menemani bahkan ikut turun dari mobil? Aku memang tak pernah melihatnya mengambil wudhu atau pun sholat. Aku baru menyadarinya. Mengapa kejanggalan ini baru terpikirkan olehku?. Tiap kali selesai sholat aku pasti melihatnya berada di luar bahkan tadi ia menyempatkan diri untuk mandi yang artinya jika ia mandi sehabis sholat tak mungkin secepat itu. Tepatnya hanya 5 menit aku menunggunya usai sholat tadi. Disisi lain kami memang tak pernah membahas bagaimana ritual ibadah masing-masing pada tuhan. Dia juga tak pernah membahasnya padahal sudah pasti sejak awal ia mengetahui perbedaan diantara kami. Apa hanya aku yang menaruh harap padanya? Itulah mengapa ia terlihat biasa saja akan hal ini. Aku benar-benar terkejut saat tahu kebenarannya. Aku merasa angan-anganku telah musnah.
Kesalahanku adalah karena sejak awal aku menganggapnya sama denganku. Bukan aku rasis tak mau berteman dengan orang yang berbeda keyakinan denganku. Namun ada hal besar yang bernanung dalam diri. Ia adalah perasaanku sendiri. Perasaan yang disimpan diam-diam.
Usai membasuh tubuh, aku bergegas mengenakan pakaianku lalu duduk bersandar di jendela kamar. Mataku nyalang menatap taman di samping kos. Kunetralkan lagi perasaanku. Kembali memori dalam otakku membawaku mengingat Genta usai ibadah tadi.
“Maaf Na. Lama banget ya?” tanyanya
“Tidak kok” ucapku tanpa menunjukkan raut terkejut padanya. Dia tersenyum.
“Aku tadi berdoa agar ibuku tenang disana. Ibumu sehat selalu dan kamu tetap menjadi Kirana yang aku kenal sejak awal”
Oh tuhan doanya terlampau indah, ingin rasanya aku menumpahkan air mata terharuku saat itu. Merapal sejuta doa agar anganku tercapai. Aku ingin bersamanya. Demi tuhan aku telah jatuh cinta. Entah kapan, namun kenyataannya hatiku telah jatuh padanya.
“Genta” Panggilku, ia pun menoleh. Aku menatapnya seraya tersenyum
“Kuaminkan segala harapmu” kataku dan ia membalas senyumku sebelum akhirnya kami terdiam dalam perjalanan pulang.
Tuhan. Bisakah kau jawab segala tanyaku? Aku sudah mengakui perasaanku, tapi mengapa kau hadirkan rasa itu saat anganku sudah terlampau jauh namun terhalang oleh batas yang tak bisa aku tembus?. Aku memang tak tahu bagaimana perasaanya terhadapku. Kendati jikalau rasaku tak berbalas, setidaknya aku tetap bisa menaruh harap padaMu. Tapi kenyataan ini adalah jawaban bahwa anganku hanyalah mimpi semata yang sudah pasti tak akan terwujud.
Tuhan. Tahukah kau, saat ia menghujaniku dengan sejuta perhatian dan ketulusannya. Percayalah hati siapa yang tak akan jatuh pada sosok sepertinya. Saat ia berbicara dengan ibu, aku menatap dalam manik matanya mencari jawaban atas segala raguku. Namun nihil, yang kutemukan adalah sorot mata penuh kasih bak seorang anak pada ibunya. Aku tertegun, hati siapa yang tak akan luluh? Ia terlampau tulus. Sebab itu hatiku jatuh sejatuh jatuhnya, memilihnya untuk tak sekadar jadi teman berbagi namun berharap kelak dialah pendampingku. Astaga itu amat mustahil. Sadarlah Kirana, selain hanya kamu yang memiliki rasa, perbedaan adalah jawaban pasti.
Aku beranjak dari dudukku, lalu menghempaskan diri ke atas kasur. Mencoba memejamkan mata namun baru semenit aku terpejam. Adzan maghrib membuatku seketika membuka mata. Segera aku mengambil wudhu dan menunaikan sholat.
Dipenghujung ibadahku, aku merenung. Aku terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya kurapal doa dalam hati.
“Tuhan. Engkaulah pencipta rasaku. Engkau pulalah pencipta temu antara aku dengannya. Dengan sangat rendah hati aku memohon, berilah aku petunjuk agar aku tak semakin jatuh akan rasa yang terlanjur ada. Bukankah sebelumnya aku sudah berkali-kali merapal namanya ditiap doaku? maka berilah aku jawaban pasti. Jika memang tak bisa bersama, setidaknya kuatkan aku agar mampu mempersiapkan diri untuk belajar menghilangkan rasa”
Tak berselang lama, gawaiku berdering. Aku mengakhiri doaku dan meraih ponselku. Kupikir ibu tapi ternyata Genta. Segera kuangkat panggilannya.
“Halo. Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam Na” aku terdiam sejenak. Pantas saja aku tak menyadarinya. Mereka memang terkadang menjawab salam, sama seperti teman-temanku dulu kala menjawab salamku. Padahal kenyataannya mereka berkeyakinan seperti Genta.
“Ada apa Genta?” cukup lama ia terdiam lalu menjawab tanyaku
“Besok sore setelah kerja kamu sibuk?” tanyanya
“Tergantung kerjaan sih. Tidak menentu. Kadang aku bisa selesaiin siang kadang juga menjelang sore bahkan sampai malam” jelasku
“Oh gitu. Kalau misalnya kamu selesai siang atau sore kabarin aku ya”
“Emangnya ada apa Gen?” tanyaku penasaran, tumben sekali dia mengajakku bertemu hari Senin, biasanya Sabtu atau Minggu.
“Aku mau ngajak kamu ke Café milik sahabatku. Tidak lama kok. Cafenya juga punya ruang sholat jadi kamu bisa sekalian sholat disana”
Aku tertegun. Rupanya ia memikirkan ibadahku. Astagaaa sadar Kirana jangan terjebak akan perasaanmu. Itu hanyalah sikapnya untuk menghargai perbedaan. Lagi-lagi aku membatin. Kurutuki diri dalam hati.
“Ah iya. Nanti aku kasi kepastiannya besok sore ya” balasku
“Oke Na. Tidurlah. Kamu pasti sangat lelah”
“Oke deh. Assalamualaikum”