Elusif

NAA
Chapter #7

#7 Suara yang Semakin Nyaring

“Hati adalah ruang tak kasat mata yang di dalamnya mengantongi ribuan suara. Suara-suara yang tak hanya berbisik namun juga berisik”

**

Kirana

Ini adalah hari ketiga sejak pertemuanku dengan Genta di Cafe Rendy. Semenjak itu, kurasa ada yang berubah pada diriku. Seperti saat ini, sedari tadi aku hanya membolak-balikkan tubuhku ke kiri, ke kanan, telungkup serta terlentang. Mataku tak kunjung menutup. Kulirik jam di atas nakas, pukul 01:15. Seharusnya aku sudah berada di alam mimpi sejak pukul 22:00 dan terbangun tengah malam untuk menyantap beberapa cemilan lalu tertidur kembali. Biasanya masalah utamaku tak dapat tidur hanya karena merasa lapar, namun faktanya perutku sudah kuisi sejak pukul 23:47 tadi. Aku sama sekali tak berhasil memejamkan mata. Aku sudah memaksanya namun nihil, yang kudapat hanyalah suara-suara yang berbisik dan memenuhi kepalaku. Bisikan itu menggangguku bahkan mengubah pola tidurku. Tiga hari ini mereka hanya mengulang tanya yang sama.

“Mengapa Genta selalu bercerita tentangku pada Rendy?”

“Apa sebenarnya yang ia pikirkan akan diriku?”

“Haruskah aku meneruskan harapku padanya?”

“Tapi bagaimana jika itu hanya akan menjatuhkanku ke dalam luka?”

Asataga. Suara-suara itu tak mau berhenti. Kali ini tak hanya berbisik namun berisik. Mereka mengusik ketenanganku. Meminta kepastian yang tak kunjung tiba. Bagaimana aku mampu menghilangkan rentetan tanya itu, sementara kian hari rasaku berlipat ganda. Ah, dasar Genta. Kuakui kamu berhasil meruntuhkan keteguhan batin yang susah paya aku bangun.

Saat aku masih bergumul dengan alam pikirku, tiba-tiba gawaiku bergetar. Segera aku meraih dan membuka pesan yang masuk.

Selamat memejam Kirana

DEG

Sejenak napasku terhenti. Terkesiap pada pesan yang kubaca. “Genta?” tanyaku dalam hati seakan tak percaya itu pesan dari dia.

Kulihat kembali jam yang tertera pada layar ponselku, pukul 01:45. Apa dia tak dapat tidur juga? Bagaimana dia tahu aku belum tidur?. Ingin sekali aku membalas pesannya namun kuurungkan niat. Aku memilih untuk tidak membalasnya agar ia mengira aku sudah tidur. Ini pertama kalinya ia mengirim pesan tengah malam dengan isi yang amat berbeda. Sebelum-sebelumnya hanya pesan yang berisi ajakan makan bersama atau sekadar refreshing saat sabtu atau minggu. Itupun dikirim sekitar pukul 21:00 tak sepeti saat ini yang jelas-jelas merupakan waktu tidur. Tapi kali ini entah mengapa aku merasa pesannya amat berkesan untukku. Ya ampun Genta, tak tahukah kamu, jika sikapmu seperti ini hanya akan mempersulitku menghilangkan rasa padamu.

Kupikir hubunganku dengannya bak simbiosis mutualisme. Aku membutuhkan teman cerita untuk menghilangkan penat dan ia membutuhkan sosok ibuku. Hari-hari berlalu, segala praduga awalku perlahan-lahan musnah. Tanpa kusadari aku terjebak dalam rasa nyaman yang tercipta. Faktanya aku selalu menerima segala ajakannya. Percayalah, telah berkali-kali aku meyakinkan diri bahwa sikapnya hanyalah bentuk terimakasih atas ibuku yang bersedia meluangkan waktu bercakap dengannya. Artinya ibuku hanyalah pengobat rindu sebab Genta selalu menginginkan perhatian dari sosok ibu. Aku juga berusaha meyakinkan diri bahwa sikapnya padaku hanyalah sebuah tindakan untuk menghargai pesan ibu agar ia menjagaku disini. Namun semua itu tak cukup untuk menepis rasaku yang kian hari semakin nyaring dalam ruang tak kasat mata.

Ruang itu adalah hati. Ia menghasilkan suara-suara yang tak mau diam. Memilih merapal bahkan meneriakkan namamu dalam sepi. Ia semakin nyaring kala sikapmu berhasil membuatnya jatuh berkali-kali. Perkara ini menyadarkanku bahwa terkadang ketentuan hati tak bisa dinego. Kadang pula ia tak tahu diri perihal menjatuhkan rasa. Seperti saat ini, ia membuatku kalang kabut mengendalikannya. Percayalah aku sudah berusaha menghentikannya. Aku berharap ia mampu meredam suaranya lalu diam diwaktu yang tepat.

Ah, aku jadi teringat pada sahabat-sahabatku saat sekolah. Sudah lama aku tak bertukar kabar dengan mereka. Dulu, saat mereka telah mengenal seluk-beluknya jatuh cinta. Aku justru memilih menetapkan prinsip serta meneguhkan hati agar tak mudah terpengaruh. Padahal ada beberapa orang yang diam-diam bahkan secara gamblang menyatakan rasa padaku. Bohong jika aku mengatakan bahwa dimasa itu aku tak menaruh rasa pada siapapun. Ada rasa yang hadir dalam diri, namun aku memilih untuk tak terikat dalam hubungan yang belum tentu kepastiannya. Aku juga tak menyalahkan pilihan yang telah diambil oleh para sahabatku. Justru aku berterima kasih, sebab aku banyak belajar dari pengalaman hidup yang sudah mereka alami. Betapa tidak, tiap kali mereka bercerita tentang bahagianya jatuh cinta hingga sakitnya terluka. Mereka selalu menyelipkan petuah diakhir ceritanya. Bahwa aku harus menjadi pribadi yang tak mudah percaya, tak mudah menaruh rasa bahkan jika aku tak mampu mengendalikan rasa, maka cukup kuselipkan namanya disujud terakhirku. Cara terakhir adalah solusi dari sahabatku Rima yang sudah berkali-kali jatuh hati namun berkali-kali pula patah hati. Hingga ia memilih untuk menyebut namanya saja disujud terakhir ibadahnya.

Jika namanya sudah kau selipkan disujud terakhirmu lalu jawaban tuhan tak sesuai inginmu. Maka janganlah memaksaNya agar kehendakmu tercapai. Cukup tahu diri

Apa ini berlaku untuk Genta? Bukankah aku selalu menyebut namanya diakhir ibadahku ?. Tapi tuhan telah menjawabnya dengan menunjukkan padaku keyakinan Genta sesungguhnya. Mungkin ini yang dimaksud dengan cukup tahu diri sebab perbedaan adalah jawaban yang membuktikan bahwa aku bersamanya adalah ketidakpastian belaka. Jadi untuk apa aku meneruskannya?.

“Hufffff” aku menghela napas kasar.

Setelah bergelut dengan pikiran dan hati yang berkecamuk. Kurasa mataku perlahanmulai berat. Entah atas dasar apa, aku melihat kembali pesan Genta sebelum akhirnya aku benar-benar memejam.

**

Pagi yang begitu berat. Bagaimana tidak, hampir saja aku terlambat ke kantor. Jika bukan karena alarm yang sudah kupasang setiap hari, pastilah aku bangun kesiangan. Akibat kantuk yang teramat berat, kumatikan berkali-kali benda kecil berisik itu. Aku segera bangkit. Tersentak kala mengingat presentasiku hari ini, membuatku lari tunggang langgang ke kamar mandi. Bahkan sholat subuhku pun ditemani oleh cahaya yang menerobos masuk di kamarku. Aku benar-benar telat bangun hingga sinar matahari turut menyaksikan aktivitasku bersiap-siap ke kantor. Ini pertama kalinya, biasanya aku bangun lebih dulu sebelum alarmku berdering.

Kukendarai sepeda motorku dengan kecepatan yang lebih tinggi dibanding hari-hari sebelumnya. Saat tiba, aku bergegas melangkahkan kaki masuk ke dalam lift. Kulirik arloji di pergelanganku. Untung saja masih ada waktu 3 menit. Saat berada di dalam, tiba-tiba saja seseorang menerobos masuk. Rupanya Mia.

“Kirana?” Mia nampak terkejut saat melihatku

“Kamu kok hampir telat juga?” tanyanya

“Iya. Aku terlambat bangun. Kamu terlambat bangun juga?”

Lihat selengkapnya