“Terjebak rasa bukanlah perkara gagal mengendalikan diri. Melainkan sebuah fakta bahwa terkadang hati itu tak tahu diri dalam menaruh rasa. Terjatuh pada insan yang mungkin saja tak bisa membalasnya”
**
Angin pagi berhembus, menerpa daun-daun yang kini saling bergesekkan dan menjatuhkun sisa-sisa embun semalam. Udara segar terhirup oleh seorang perempuan yang tengah duduk pada bangku taman. Matahari pagi menerpa wajahnya. Dengan sigap ia meraih gawai, lalu memotret semburat bernama sunrise itu.
Sebentar sore aku akan mengajakmu keluar
Sebuah pesan masuk dari Genta.
Kemana ?
Kirana membalas pesan itu yang rupanya tak kunjung dibalas oleh Genta hingga beberapa jam kemudian. Aneh. Hanya itu kata yang menurut Kirana tepat untuk disematkan pada Genta. Tak terasa hari sudah sore, Kirana bergegas menyusul Genta yang tengah menunggunya di depan.
Perjalanan yang ditempuh kurang lebih satu jam lamanya. Kini mereka berada di atas hamparan pasir putih berpadu dengan batu karang tempat mereka bersandar. Dihiasi ombak yang bergulung pada laut, berpadu dengan birunya langit menambah kesan eksotis pada tempat ini. Kirana terpukau akan lukisan alam yang begitu menakjubkan. Perlahan sang surya menuju ke kaki langit, menyisakan bias merahnya. Tak ada kata. Tak ada sapa. Mereka terdiam. Kirana hanya menikmati keindahan di hadapannya kini. Sementara Genta sibuk berperang dengan alam pikirnya.
“Aku menyukaimu Kirana”
Samar-samar Kirana mendengar suara di antara deburan ombak, segera ia memalingkan wajah menatap sosok yang merupakan sumber dari suara itu.
“Tepatnya aku mencintaimu”
DEG
Kirana terdiam. Lidahnya seakan kelu. Ia terkseiap, berharap semoga saja indra pendengarnya telah salah menangkap gelombang suara yang berasal dari Genta.
“Kamu tidak salah dengar. Aku tidak akan mengulangnya. Tapi kupastikan itu adalah kebenaran atas diriku”
Lagi-lagi Kirana tak mampu berkutik. Genta melakukan itu karena sudah tak mampu menahannya. Dengan susah payah ia membuat pengakuan yang dirasanya cukup berat diungkapkan.
“Hm” gumam Kirana seraya tersenyum kaku. Lagi-lagi tak ada kata. Ia terdiam lalu memalingkan kembali wajahnya pada semburat merah yang perlahan meredup.
“Lupakan saja Kirana. Satu permintaanku agar kamu tidak berubah karena hal ini” lanjut Genta
“Pasti” jawab Kirana singkat sembari menganggukkan kepala.
Dalam perjalanan pulang, suasana menjadi hening. Dua insan yang sedang bersama tengah sibuk dengan pikiran masing-masing. Sebuah hubungan yang entah akan seperti apa nantinya. Pengakuan mengejutkan disabtu petang adalah bentuk keresahan baru yang akan bernaung dalam kepala mereka.
**
Genta tak mampu mengendalikan diri, dengan gambalangnya ia mengungkapkan rasa pada Kirana yang justru semakin mengacaukan isi kepalanya saat ini. Mengingat bagaimana sikap Kirana sore tadi, membuat dirinya tak henti-hentinya meresah. Ia mengutuk diri, betapa bodoh dan lancangnya mengatakan hal itu. Ia khawatir Kirana akan berubah. Menyatakan cinta padanya bukanlah perihal perasaan yang mesti dibalas, melainkan perkara hati yang memang sulit dikendalikan inginnya. Hati itu tak tahu diri dalam menaruh rasa, bahkan terkadang ia terjatuh pada insan yang mungkin saja tak bisa membalasnya.
Itulah kenapa Genta memilih mengungkapkan rasa dibanding harus menyimpannya sendiri, disisi lain ia pula ingin tahu bagaimana perasaan Kirana terhadapnya. Apakah hanya sekadar teman atau malah memiliki perasaan yang sama. Namun kenyataan tadi menunjukkan bahwa hanya ia yang menaruh rasa. Bahkan Kirana membalasnya hanya dengan kata singkat “Hm dan pasti” adalah jawaban ambigu yang sulit dimaknai. Sungguh, ia benar-benar harus mengubur perasaan cinta yang kian hari semakin subur.
Meski pada kenyataannya masih ada tanya yang bernaung, apakah Kirana benar-benar tak menyukainya ataukah Kirana justru memilih menghindar karena perbedaan diantara mereka?. Tetapi keinginan Genta bukanlah perasaan yang harus terbalaskan melainkan jawaban atas segala tanyanya. Hanya keinginan mendengar tutur penjelas bukan tuntutan untuk bersama. Sebab apapun yang akan dikatakan Kirana, baik itu penolakan serta ungkapan berupa fakta bahwa Kirana tidak menaruh rasa pun tak masalah karena Genta telah mempersiapkan diri akan hal buruk itu. Tapi apa yang terjadi, hingga saat pulang, Kirana memilih membisu.
Besok aku akan menemanimu ibadah