“Jika suara dalam kepala meminta untuk didengarkan maka suara hati tak hanya ingin didengar namun juga dirasakan. Acap kali keduanya tak sejalan namun satu diantaranya amat dibutuhkan. Maka kita hanya perlu menjadi pemilih ulung, agar tak salah kaprah nantinya”
**
Gentala
Sebuah pengakuan yang amat mengejutkan. Pengakuan yang tak pernah kuduga dan kusangka akan keluar dari mulut seorang perempuan yang rupanya merasakan hal yang sama. Aku tidak tahu apakah pentidakuan antara aku dan dia adalah cara yang tepat atau malah hanya akan mempersulit keadaan. Tak ada yang tahu kepastian dibalik ini, tapi aku mesti mempersiapkan diri atas apa yang akan terjadi nantinya. Tiga bulan berlalu semenjak kami tahu perasaan masing-masing. Kami tetap bertemu seperti bisaa, bertingkah laku seperti sebelum-sebelumnya. Perihal Kirana aku harus mentidakuinya jika dia memang pandai menempatkan diri. Sementara aku mesti bersusah payah mencipta laku agar tak nampak kecanggunganku padanya.
Hari ini aku telah bersepakat bertemu dengannya. Kini dia tengah bersamaku. Berjalan melalui petak-petak yang tersusun rapi. Hingga tiba pada petak yang kami tuju.
“Ini makam ibuku” ujarku. Kirana tak menjawab, ia hanya tersenyum lalu duduk disamping makam ibu seraya mengusap makamnya.
“Ada apa?” tanyaku kembali sebab ia masih terdiam.
“Ibumu pasti wanita yang hebat. Dia telah mendidik dan membesarkan seorang laki-laki yang amat sederhana dan beruntungnya aku bisa mengenal laki-laki itu” jawabnya.
“Apa aku terlihat seperti itu?. bahkan aku tak menggunakan sepeda, naik angkot maupun transportasi online saat keluar rumah” kelakarku seraya tersenyum jahil pada Kirana.
“Bukan itu Genta. Aku hanya tidak percaya kau mau berteman dengan orang sepertiku” aku tersentak mendengar ucapnya.
“Kamu tahu mengapa aku suka makan di Rumah Makan Pak Maman yang makanannya sederhana, harganya murah, ditambah lagi dengan jaraknya yang begitu jauh dari tempatku?” Kirana menggeleng
“Itu karena ibu yang membisaakanku hidup sederhana. Ia tak mau jika aku terlalu dibutakan oleh kenikmatan dunia. Ditambah lagi aku diajarkan untuk tidak membeda-bedakan kasta manusia. Ibu sangat menekankan hal itu. Saat aku besar, aku menyadari semua yang dikatakan ibu benar. Tak ada gunanya berlaku sPakbong dengan harta yang sifatnya hanya sementara”
“Justru karena itu aku kagum pada ibumu Genta. Beliau sungguh luar bisaa. Aku berterimakasih padanya. Sebab telah bertemu seorang laki-laki yang tumbuh dengan segala kebaikan karena telah dididik olehnya”
“Panggillah dia ibu sebagaimana aku memanggil ibumu Kirana” tawarku
“Hm. Semoga tenang disana ibu” ucapnya di hadapan makam ibu yang kemudian disusul aku yang mengkhusyukan diri mendoakan ibu.
**
Kirana adalah sosok yang telah berpengaruh dalam hidupku. Aku yang tak lain adalah manusia penuh luka, pelahan-lahan mulai pulih. Jika kutelisik kembali, aku pernah menempuh cara dengan mempersibuk diri, mengejar duniawi agar kepalaku dipenuhi dengan kerja dan kerja yang hanya menghasilkan pundi-pundi uang namun tak tahu akan aku apakan uang-uang itu. Sudah pasti aku tidak akan menghambur-hamburkannya hanya untuk kepuasaan sesaat. Berbaur dalam pergaulan hadon. Oh tidak, itu bukan diriku. Aku menggilai kerja hanya untuk melupakan sejenak kepiluanku, meski kenyataannya otakku sesekali disisipi ingatan akan kesakitan yang aku rasa.
Perihal ibu aku sudah rela melepasnya namun kepedihan lainlah yang kerap kali menderaku. Hingga saat bertemu Kirana, aku berubah. Sebab aku telah berdamai dengan segala kepiluan yang pernah kubendung. Saat Kirana mengenalkanku pada ibunya yang ternyata langsung diterima dengan baik. Padahal aku adalah orang asing yang tak tahu diri meminta ibunya untuk meluangkan waktu berbincang denganku. Tak bisa kupungkiri bahwa Kirana adalah perempuan yang telah berhasil menarikku dari lubang gelap yang mengantongi jutaan luka. Lantas bagaimana jika kelak aku dan dia tak bisa bersama?. Apa ini akan menjadi luka baru untukku?. Apakah pantas aku memaksa semesta agar memenuhi inginku?, sungguh ini terlampau rumit.
Kirana
Hari-hari berlalu. Kukira aku akan berhasil. Namun saat berkunjung ke makam Ibu Genta, rupanya perasaanku semakin mendalam. Kian hari aku semakin takjub akan sikap Genta. Amat sulit mengatur perasaan yang kerap kali menggebu-gebu. Meskipun begitu aku tetap berusaha bersikap bisaa di hadapan Genta. Sepertinya yang ibu katakana benar. Selalu bertemu malah akan mempersulitku menghilangkan rasa. Tapi sungguh, aku masih berjuang melawannya. Aku ingin menghilangkannya dengan tetap menjalin hubungan baik dengan Genta. Meski kami tak memiliki hubungan terikat tapi aku ingin jika waktunya tiba, antara aku dan Genta bisa saling melepas dengan cara baik-baik.
Kuedarkan pandanganku mengelilingi tiap sudut rumah yang sedang kupijaki, aku tidak heran saat melihat gambar salib yang begitu besar di ruang tengah. Aku memakluminya. Kuedarkan kembali mataku, rumah ini bergaya klasik dengan memadukan unsur modern dan tradisional. Terdapat perpaduan beberapa model rumah yakni di sisi kiri merupakan rumah panggung, di bagian kanan adalah rumah bambu yang bergaya rumah jawa, sementara bagian tengah merupakan rumah bertingkat dengan gaya modern. Ketiga bagian rumah ini masih satu kesatuan dimana di sekelilingnya berupa halaman yang luas dengan pepohonan serta kolam renang yang berada pada bagian belakang. Aku takjub melihatnya, sungguh berbeda dengan kondisiku. Bukan persoalan aku tidak bersyukur. Aku hanya bingung Genta mau berteman dentidaku. Meski kenyataannya pertemanan kami diselingi dengan peresaan yang tak sewajarnya dimiliki seorang teman.
Saat ini aku sedang berada di rumah Genta. Semalam ia lembur, menjelang siang ia menjemput dan mengajakku ke rumahanya. Aku mencari ayahnya namun ternyata beliau sedang di luar dan mungkin akan tiba siang ini. Sembari menunggu Genta yang sedang mandi. Tiba-tiba mataku tertuju pada seorang wanita paruh baya yang sedang berkutat dengan sayur-sayuran dan bahan makanan lain. Aku menghampirinya yang rupanya pergerakanku diketahui olehnya.
“Mbak Kirana ya?” tanyanya saat melihatku
“Iya. ibu kok tau nama aku?. Ibu siapa ya?”
“Mas Genta udah bilang kalau hari ini mau ngajak teman ke rumah. Panggil aja Bi Inem. Bibi sudah lama kerja disini” jelas Bi Inem
“Oh iya bi. Ya udah, sini biar aku yang potong sayurannya”
Tawarku yang ternyata ditolak oleh Bi Inem namun aku memaksannya hinga ia mengalah dan membagi tugasnya denganku. Usai memotong sayuran, aku segera memasaknya. Berhubung bahan yang tersedia adalah wortel, kentang, kol, daun bawang dan seledri maka aku langsung tahu yang akan dimasak adalah sayur sop. Bi Inem juga sudah tak menolak aku mengambil alih bagian memasak sayuran sementara ia sedang berkutat dengan ikan yang akan diolah.
“Bibi tidak usah sungkan. Kalau aku kebetulan ada disini, panggil aja jika bibi butuh bantuan” ucapku kala kami usai memasak.