Elusif

NAA
Chapter #10

#10 Yang Mesti Diakhiri

Tidak ada yang lebih konyol dari sebuah harapan yang sejak awal akan patah. Namun bersikukuh bertahan dengan keyakinan akan baik-baik saja. Tanpa disadari hal itu justru mencipta hal yang lebih konyol lagi

Sepasang insan tengah duduk pada sebuah taman. Hening. Keduanya belum mengucap sepatah kata pun saat memasuki taman ini. Terjadi pergolakan batin yang belum terungkap. Semua disimpan menjadi rahasia. Rahasia yang ternyata semakin menumpuk bak lembaran-lembaran kertas yang kian hari semakin bertambah. Namun satu diantaranya tengah mempersiapkan diri, bahwa inilah saatnya.

“Kirana. Sebaiknya kita akhiri saja. Kita memang tidak perlu memutuskan sebuah hubungan sebab kita tidak terikat dalam hubungan pasti. Sejak awal kita telah bersepakat untuk tidak melakukannya bukan? Maka bukanlah hubungan yang mesti kita hentikan melainkan perasaan kita masing-masing” seru Genta tiba-tiba membuat perempuan yang berada tepat di sisinya tercengang.

“Aku tahu apa yang terjadi antara kamu dan ayah. Kamu tidak perlu menutupi hal apa yang kalian bahas saat aku meninggalkanmu bersamanya. Aku curiga saat turun ayah tak ada. Aku yakin dia pasti mengatakan sesuatu. Tidak perlu kamu jelaskan. Aku tahu, ayah menginginkan kita untuk segera menghentikan ini. Kumohon maafkan aku dan ayahku” lanjut Genta.

“Jangan salahkan ayahmu, keadaan, pun jua salah satu diantara kita Genta. Tak ada yang salah disini. Bukankah kita memang tak bisa mengontrol keinginan hati yang tidak diduga-duga?. Kita hanya terlalu larut akan perasaan masing-masing dan inilah yang membuat kita sulit untuk saling melepas”

“Ini berat untukku Kirana. Kamu adalah orang yang pandai menempatkan diri. Tahu cara bersikap sehingga orang-orang di sekitarmu akan sulit menerka keadaanmu yang sesungguhnya. Sementara aku, untuk bertemu denganmu setelah kejadian ini saja tak membuatku yakin apakah aku bisa bersikap seperti sebelumnya atau tidak”

“Pasti bisa Genta. Jika kamu hanya menilai dari sisi itu. Maka aku harus mengatakan, kamu jauh lebih hebat denganku. Setelah terpuruk akan luka-luka dimasa lalumu, kamu berhasil bangkit kan?. Maka dari itu aku tidak meragukanmu untuk meninggalkan kisah absurd ini. Tidak indah memang, tapi cukup berkesan. Semoga kamu merasakan hal yang sama”

“Sebenarnya aku belum siap” ucap Genta seraya tertunduk

“Saat ini adalah waktu yang tepat untuk kita hentikan. Tak ada yang tahu kapan kita akan siap, siapa pula yang bisa menjamin kisah ini akan baik-baik saja nantinya, tidak ada bukan?. Hmm jelaslah sudah, tak ada cara lain” balas Kirana sembari menghela napas pelan.

“Hari ini, untuk kesekian kalinya aku kehilangan orang-orang berharga dalam hidupku” Genta semakin dalam menundukkan kepalanya. Larut akan kesedihan yang menyeruak dalam diri. Saat ini, untuk melihat dan menatap perempuan di sisinya sungguh tak sanggup ia lakukan.

“Sudahlah Genta. Jangan disesali. Aku tidak menyesal mengenalmu. Kita akan tetap berkomunikasi meski tidak seperti sebelumnya” sedari tadi Kirana hanya memanipulasi diri. Berlakon bak orang yang sanggup menghadapi segalanya. Menunjukkan pada lelaki yang tengah bersamanya, bahwa ia mampu melaluinya.

“Pasti Kirana. Bukan berarti kita tidak dapat bertegur sapa kan?. Ini memang jalan terbaik, sebab memaksakan kehendak adalah menciptakan sesal dikemudian” sahut Genta

“Ambillah ini”

Genta memberikan sebuah paper bag yang diambilnya saat ia meninggalkan Kirana dan Ayahnya. Berkali-kali ia ingin memberikannya pada Kirana, namun kerap kali ia melupakannya. Hari ini berbeda, ia mengingat benda itu bahkan disaat ia sedang berbincang bersama Kirana dan Ayahnya.

“2 minggu yang lalu aku ke Makassar dan Pare-pare, sekalian menyempatkan diri ke rumahmu” jelas Genta yang rupanya sudah diketahui Kirana melalui ibunya.

“Ternyata tak hanya taman. Benda ini turut menyaksikan akhir dari kisah kita” seraya menunjuk paper bag yang kini sudah berada di tangan Kirana.

Hening. Kirana tak membalas ucapan Genta. Kini keduanya sibuk menata hati. Menata perasaan. Namun sulit, pikiran mereka kalut. Batinnya bergolak. Ada perang batin yang tercipta. Siapa menyangka kisah ini akan berakhir begitu saja. Kisah yang tidak diikat dalam hubungan pasti namun terjalin atas dasar kekuatan kasih. Hari ini. Detik ini. Tepatnya diminggu petang. Keputusan yang mereka anggap adalah jawaban dan cara terbaik telah mereka rapalkan. Keputusan yang membawa keduanya harus mampu menghilangkan rasa dan saling melepas satu sama lain.

Tiga puluh menit berlalu. Dengan susah payah dua pasang kaki itu meninggalkan tempat yang menjadi saksi dari akhir kisah mereka. Berjalan bersisian dengan rasa yang masih berkecamuk.

Tes

Sebulir cairan bening jatuh di wajah Kirana yang rupanya terlihat oleh Genta. Sontak Genta berteriak.

“Arrrgghhhh” Genta menjambak rambutnya. Menghentikan langkah lalu menarik pergelangan tangan Kirana. Membuat keduanya saling berhadapan. Genta menghempaskan kasar tangan Kirana.

“Sakit Kirana. Sakit. Tolong jangan menangis. Baik di hadapanku maupun tidak. Tolong jangan lakukan itu. Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini” teriak Genta yang sudah tak kuasa menahan diri.

“Apa tadi kamu menipuku Kirana?. Kamu bohong jika kamu akan baik-baik saja kan?” desak Genta yang membuat perempuan itu terduduk. Tangisannya pecah, ia menumpahkan seluruh cairan bening yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya.

“Bukan persoalan aku berbohong Genta. Akan kupastikan, aku bisa melakukannya. Tapi tidak saat ini. Biarkan aku menumpahkan kesedihanku yang ternyata tak bisa kukendalikan di hadapanmu” ucap Kirana sesenggukkan.

“Maafkan aku Kirana. Maaf. Aku tidak bermaksud membentak bahkan menyakitimu. Aku hanya tidak ingin melihatmu bersedih. Itu saja” balas Genta seraya meraih tubuh Kirana untuk berdiri. Sungguh ia tak tega melihat perempuan yang amat dicintainya menangis karena dirinya. Lebih tepatnya menangisi kenyataan dari dua insan yang tak bisa menyatu.

Lihat selengkapnya