"Manusia tak pernah tahu bagaimana semesta merangkainya. Memakbulkan segala hendak yang didamba melalui cara-cara yang tak pernah terkira"
**
Ruangan bernuansa putih dengan bau obat yang begitu menyengat menjadi ciri khas ruangan ini. Sebuah selang bertengger dalam hidung seorang perempuan yang kini terbaring lemah tak berdaya. Selang itu berguna untuk memenuhi kebutuhan cairan, nutrisi hingga obat-obatan selama ia dirawat. Perban memenuhi kepalanya sebab rambutnya telah dipangkas habis akibat luka yang tersebar hampir di seluruh bagian kepalanya. Bunyi monitor memenuhi tiap inci ruangan. Menampilkan grafik tekanan darah, kadar oksigen serta memperlihatkan grafik yang mencatat tiap detik dari detak jantung perempuan itu. Seminggu sudah ia menempati ruangan ini, namun matanya masih enggan membuka. Tubuhnya memilih diam dalam kedamaian yang tak terjamah. Hanya secuil dari bagian tubuhnya yang terus berdetak. Sementara yang lain tak jua mencipta gerak.
“Bagas. Sukani ngertos semah sampeyan. Mboten angsal sanget-sanget sedhih. Langi nangis, kados-kadose Kirana empun mboten wonten. Astaghfirullah. Mboten angsal kados niku nak. Mboten sae. (Bagas. Beritahu istrimu. Tidak boleh terlalu sedih. Langi menangis, seolah-olah Kirana sudah tiada. Astaghfirullah. Tidak boleh seperti itu nak. Tidak baik) ”
Seru seorang wanita tua yang tak lain adalah Ibu Bagas. Saat mendengar cucunya mengalami kecelakaan ia bergegas menyusulnya di Surabaya. Bagaimana pun Kirana adalah cucu yang amat dekat dengannya. Bahkan ia meminta Kirana untuk melanjutkan sekolah menengah atasnya di Magelang. Demi menemani dirinya dan sang suami yang sudah berusia senja. Ia begitu terpukul saat mengetahui kondisi Kirana yang tak sadarkan diri. Saat suaminya meninggal pun, hari-harinya hanya ditemani oleh Kirana. Hingga ketika Kirana kuliah dan bekerja, ia pun ditemani lagi oleh cucunya yang lain. Bagas sudah memintanya untuk tinggal bersamanya, namun ia bersikukuh menetap di rumah yang penuh kenangan itu. Bahkan ia ingin diakhir hidupnya pun, rumah itu menjadi wadah saat ia menghembuskan napas terakhirnya. Wanita tua itu teringat akan apa yang dikatakan Kirana saat tinggal bersamanya, bahwa ia akan merawat rumahnya meskipun kelak ia tak lagi bersamanya. Kirana akan tetap menjaga dan merawatnya dari jarak jauh. Bahkan saat bekerja pun, Kirana rela merogoh koceknya untuk membayar Mas Asep demi menjaga rumah serta memantau kesehariannya. Wanita tua itu tersenyum getir kala mengingat jejak kenangnya bersama sang cucu.
“Ibu benar. Harapan itu masih ada Langi. Setidaknya monitor itu tak pernah menghasilkan bunyi panjang ataupun bunyi yang berganti begitu cepat. Artinya doa kita didengarkan oleh Allah. Kita boleh sedih asal jangan pernah menyalahkan Tuhan. Seperti yang ibu bilang tidak boleh terlalu sedih” ucap Bagas sembari mengusap pundak sang istri. Ia juga begitu khawatir kala melihat Langi setiap hari larut akan kesedihan. Bahkan kerap kali ia menemukan sang istri duduk berdiam diri dengan mata menatap nanar tubuh Kirana. Kian hari tangis Langi tak jua mereda bahkan tertidur dengan kondisi mata yang masih sembab.
Langi memang sedang meratapi nasib yang menimpa putrinya. Tak ada lagi sapaan hangat dari Kirana. Dulu, setiap hari Langi pasti menyempatkan diri mendengar suara Kirana. Menanyakan kabar bahkan siap mendengar keluh dan kesah yang kapan pun Kirana keluarkan. Ia selalu berusaha memberikan saran serta nasihat yang akan membantu Kirana menghadapi hiruk pikuk serta segala rupa karakter manusia, agar Kirana selalu mampu mengambil keputusan serta mampu bersikap sebagaimana mestinya. Ia dan Kirana tak sekadar menjadi ibu dan anak namun mampu menjelma menjadi sahabat yang siap berbagi kisah satu sama lain. Sat ini ia berharap, tiap kali membuka mata, Langi berharap yang pertama kali dilihatnya adalah Kirana yang juga turut membuka matanya. Jika itu terlampau jauh, ia berharap setidaknya jari tangan pun jua kaki Kiranalah yang bergerak. Tak masalah jika hanya gerakan-gerakan kecil, asal itu merupakan pertanda bahwa Kirana akan segera sadar dan berhasil melewati masa kritisnya. Tapi apa yang ia lihat, hanyalah tubuh sang buah hati yang terbujur kaku sedang berjuang melawan maut. Entah bagaimana Tuhan memberi jawabannya kelak. Ia hanya berharap Sang Empunya kehidupan bersedia berpihak padanya, utamanya pada Kirana yang benar-benar membutuhkan keajaibanNya.
“Langi langkung sae sampeyan kesah sholat. Tenangkan dirine sampeyan. Nedha donga ing Allah. Supados Kirana enggal sadar. (Langi lebih baik kamu pergi sholat. Tenangkan dirimu. Minta doa pada Allah. Agar Kirana segera sadar)” perintah Ibu Bagas pada Langi yang hanya membalasnya dengan tatapan kosong.
“Tak baik jika kamu menangis terus-menerus. Nanti malah kamu yang sakit. Ayah sayang kalian semua. Jangankan sakit, melihatmu menangis saja aku tak tega. Berdirilah, mungkin kata ibu benar. Sholatlah.Tenangkan diri dan berdoa agar Kirana segera sadar” tutur Bagas yang langsung dibalas anggukkan oleh Langi. Seperti inilah bentuk komunikasi mereka. Bagas akan selalu menjadi penerjemah antara Langi dan ibunya.