Elusif

NAA
Chapter #13

#13 Sebuah Pilihan

"Hidup adalah pilihan bukan hal yang tabu lagi didengar. Manusia akan terus menghadapi ragam pilihan dalam hidupnya. Salah satunya pilihan untuk beragama. Sebab memeluk agama bukanlah paksaan melainkan pilihan atas dasar keyakinan

**

Gentala

Setelah 3 bulan kami lalui tanpa temu. Aku justru semakin meresah. Membayangkan perubahan yang terjadi pada Kirana serta bagaimana jika nanti ia benar-benar telah bersama orang lain. Itu teramat berat untukku. Kian hari aku merasa tersesat dalam belantara pikiranku. Hingga aku memutuskan untuk menyepi. Mungkin saja dalam penyepianku aku akan menemukan kompas yang kujadikan petunjuk agar aku terbebas dari belantara pikiran yang bernaung dalam kepalaku. Sebuah rumah yang tak seberapa luas dengan desain klasik serta bahan yang terbuat dari kayu menjadi tempat yang aku pilih. Rumah ini sudah lama kubeli, terletak sangat jauh dari Surabaya. Tepatnya di sebuah desa yang berada di sisi paling timur Jawa Timur. Tak jauh dari rumah terdapat sungai yang bunyi alirannya masih dapat ditangkap oleh indra pendengaranku. Sementara di sisi kiri, kanan serta bagian belakang terdapat pepohonan rimbun yang begitu terawat. Aku memang membayar orang untuk menjaga rumah ini. Bagian depan adalah taman dengan bangku melingkar menghadap pegunungan yang membentang.

Bukan kali pertama aku ke tempat ini. Ayah Ibu tak mengetahui rumah ini sebab aku menggunakannya hanya sesekali. Sekadar untuk menyepi serta menepi dari keramaian juga padatnya pekerjaan yang begitu menguras tenaga dan pikiranku. Tak hanya itu, saat aku terpuruk akan kehilangan-kehilangan yang aku alami. Aku kembali menyepikan diri di tempat ini. Untung saja perusahaan memiliki tangan kanan yang sejak dulu begitu setia dan terpercaya. Sehingga aku tak ragu jika meninggalkan perusahaan yang sudah turun temurun itu.

Dua minggu sudah aku mengasingkan diri. Aku tak perlu mematikan ponsel sebab tak ada sinyal di desa ini. Ponselku kugunakan hanya untuk mendengarkan musik dengan earphone saat berkeliling menyusuri sungai, sawah atau sedang berdiam diri di taman maupun di jendela kamar. Saat ini aku sedang mendudukkan diri di jendela kamar. Menatap beberapa helai daun yang berguguran. Namun fokusku teralihkan saat alunan lagu yang kudengar berganti dengan suara seorang perempuan yang sama sekali tak kutahu apa yang ia rapalkan. Aku tersentak. Ini suara Kirana.

**

Aku coba memutar kembali ingatanku. Saat itu aku sedang memacu mobil dengan kecepatan sedang. Membelah jalan Surabaya yang perlahan lengang. Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Netraku justru menangkap sebuah gerobak martabak di pinggiran jalan. Aku segera menghampirinya. Memesan 3 buah kotak martabak. Saat pesanan itu selasai, aku teringat akan kebiasaan Kirana yang suka menyantap cemilan saat tengah malam. Kebiasaan yang buruk memang, tapi itu adalah hal yang sulit ia lepas.

Saat tiba, aku segera meminta izin pada penjaga kos Kirana. Sebenarnya aku tidak diizinkan, tapi aku meyakinkannya bahwa aku hanya sekadar mengantar makanan. Sebatas di depan kamar saja. Aku menunjuk cctv untuk lebih meyakinkannya. Alhasil beliau pun mengizinkanku. Saat di depan kamar Kirana, aku terdiam beberapa saat kala mendengar Kirana melantunkan beberapa ayat. Entah apa yang mempengaruhiku, aku segera meraih ponsel dan mencari menu perekam. Tak sampai semenit Kirana segera menutup bacaannya dan aku segera mematikan ponselku.

Segera aku mengetuk pintu kamarnya. Ia keluar masih dengan menggunakan mukena. Nampak di wajahnya, ia begitu terkejut akan kehadiranku.

“Bagaimana bisa kamu kesini? Nanti dimarahin loh sama Pak Ali?”

“Aku sudah izin kok. Nih aku bawain martabak. Kamu kan kebiasaan makan tengah malam” sahutku sembari menyodorkan sekotak martabak.

Lihat selengkapnya