“JANGAN PANGGIL SAYA AYAH!”
“SAYA MENABUNG SEUMUR HIDUP SUPAYA KAMU MENJADI DOKTER! TAPI KENAPA KAMU LEBIH MEMILIH MENJADI JAKSA?”
lambang dari kemarahan kini mulai muncul diambang kebahagiaan ellora, ucapannya yang tajam menusuk kejam sesuatu yang padam, hati ellora kini padam.
“kalau begitu, biarlah kamu hukum sendiri keputusanmu, karena mulai sekarang saya bukan bagian dari kehidupanmu,” ucap liandra tanpa menoleh ke arah ellora yang sedang memegang piala keadilan.
“tapi ini pilihan lora yah…” ujarnya tulus, setelah dia lulus dari pertandingan yang tak mulus.
“pilihan? jadi semua pengorbanan ini cuma bahan debat di ruang persidanganmu nanti?”
tanya liandra dengan nada yang sarkas berbeda dengan cara bicara dia pada ellora dulu. mata ellora berkaca kaca, menciptakan gumpalan air yang masih melekat di mata, melihat liandra bangkit bersiap pergi, membuat mimpi yang dulu ia rakit kini mulai terikat di tengah tengah ambisi yang ada.
“yah…lora mau jadi jaksa, lora mau menegakkan keadilan buat mamah yah…lora mohon,” tangan ellora mulai menyentuh kulit kasar milik liandra yang dulunya sangat lembut, liandra menepiskan tangan penuh harapannya itu, lalu menatap jijik kearah anak tunggal semata wayangnya itu yang dulu sangat ia sayangi.
“ini pasti ada dalang di balik kejadian malang kemarin yahh…” ellora berusaha meyakinkan liandra yang hatinya sudah ditutupi asap hitam beracun itu.
“SAYA BILANG TIDAK YA TIDAK, ANAK BODOH,” teriaknya mulai terdengar sampai ke ruangan lainnya.
anak bodoh…?
Dua kata itu tertancap tajam di hati Ellora, tidak dengan suara keras, tapi dengan keheningan yang membungkam segala harapan. Dan saat itu juga, Ellora sadar, di mata Liandra, ia tidak lebih dari bayangan yang mengotori pandangannya.
Ucapannya hanyalah suara kecil yang terabaikan,
seperti bisikan angin yang tidak pernah sampai ke telinga.
Mungkin bagi Liandra, Ellora hanyalah luka kecil yang tak pernah layak dirawat,
yang lebih mudah diabaikan dan dibuang daripada disembuhkan.
Dan rasa itu…
lebih menyakitkan daripada kata-kata kasar sekalipun,
karena yang terburuk bukanlah dihina, melainkan melihat sosok penting di kehidupanmu berubah itu lebih menyakitkan.
“Oke, Ayah… aku akan daftar kedokteran tahun ini,” jawab Ellora pelan, suaranya bergetar, penuh pasrah. Ia tahu harapannya bukan sesuatu yang mudah untuk diterima.
liandra menatapnya lama, dengan wajahnya tanpa ekspresi. Setelah hening yang menusuk, ia berkata dengan dingin, “Gak usah, masuk psikologi aja. Biar kamu nggak makin gila.”
Ellora tercekat. Kata-kata itu bukan hanya sindiran kasar, tapi seperti cambukan yang membelah hatinya menjadi serpihan-serpihan kecil.
Selama ini ia berjuang, berharap ayahnya bisa mengerti, mendukung, atau setidaknya mencoba. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan dan ketidakpedulian yang menyakitkan.
Air matanya hampir jatuh, tapi ia tahan. Karena ia tahu, menangis di depan ayahnya hanya akan membuatnya semakin dianggap lemah dan bodoh yang tak berharga. Liandra pergi, meninggalkan luka yang begitu dalam di hati Ellora. Ia hanya bisa menatap jejak-jejak kaki ayahnya yang perlahan menghilang, ellora sangat berharap bahwa masih ada secuil sosok Liandra yang dulu sangat lembut, penuh kasih, dan pelindung baginyaa.
Namun, yang tersisa kini hanyalah bayangan seorang ayah yang asing dan dingin. Ellora tak mampu berbuat apa-apa. Ia membungkam perasaannya, menelan kecewa, dan hanya bisa menuruti segala perintah ayahnya, hanya demi satu hal: agar dirinya masih dianggap seorang anak.
Beberapa menit setelah kepergian Liandra, Ellora melangkah pelan menuju kamar pribadinya. Ia merebahkan diri di atas ranjang, memeluk erat bantal seolah tengah memeluk Bunda dan Ayahnya yang dulu, dengan versi mereka yang penuh cinta dan kehangatan.
Rasa rindu membanjiri dadanya. Ia merindukan suasana rumah yang dulu terang, hangat, dan dipenuhi cahaya kebahagiaan. Ia mencoba menghitung, seberapa dalam luka yang kini mengendap di hatinya...tapi tak ada angka yang cukup untuk menggambarkan perih itu.
Ia rindu tawa-tawa kecil, pelukan hangat, dan percakapan sederhana yang dulu membuatnya merasa beruntung terlahir di dunia ini. Tapi semua itu telah menghilang, tersapu oleh api... dan yang tersisa hanya abu dari masa lalu.
Kini, yang menemani Ellora hanyalah tatapan tajam yang dingin, dan kata-kata yang menyayat, menggantikan kasih sayang yang dulu pernah ia punya. Tak ada lagi canda tawa. Yang ada hanyalah sunyi... dan ucapan yang perlahan-lahan membuat hatinya runtuh.
Malam itu, air mata Ellora tak berhenti mengalir. Perkataan ayahnya masih menggema di kepalanya, tajam, menolak, dan mematahkan. Mimpinya menjadi jaksa dianggap angan kosong. Bagi ellora, itu bukan hanya cita-cita, tapi bentuk pembelaan diri atas luka yang terjadi di masa lalu. Tapi ayahnya... justru yang paling melarang.
Tangisnya pecah dalam diam, menggigil dalam sunyi. Di tengah isak yang tertahan bantal, tubuhnya perlahan tumbang oleh lelah. Ia tertidur dengan mata sembab, dada sesak, dan hati yang masih belum selesai bertanya:
“Kenapa mimpiku tak pernah pantas untuk diperjuangkan?”
°❀⋆.ೃ࿔*:・
Cahaya pagi menyelinap lewat celah tirai jendela, menyentuh wajah Ellora yang masih sembab. Bantalnya basah, rambutnya kusut, dan matanya terasa berat. Ia membuka mata perlahan, dengan kepala yang berdenyut dan dada yang masih sesak. Sempat lupa dimana ia berada, hingga ingatan semalam menghantam kembali.
Ucapan ayahnya. Penolakan itu. Mimpinya yang digugurkan begitu saja.
Ellora duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai kamar. Tangannya menggenggam ujung selimut. Tapi di balik letih dan kecewa, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bergerak. Ia tak mau berhenti di sini. Tidak sekarang.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu berdiri. Membasuh wajah, menyisir rambut, dan mengenakan seragam sekolahnya untuk terakhir kali. Hari ini, ia akan mengambil ijazah.
°❀⋆.ೃ࿔*:・
Meja makan tertata rapi. Aroma roti panggang dan telur rebus memenuhi ruangan. Lily sosok pengganti niara, ibu tiri ellora, sibuk mengatur piring, Kylie adik tirinya, duduk sambil memainkan handphonenya, sepertinya dia asyik berbincang dengan teman temannya di sosmed. dan Liandra sudah duduk sejak tadi, membuka tablet, dan menyiapkan koran untuk membaca berita.
Ellora turun dari tangga, rapi, membawa tas kecil. Ia berjalan pelan menuju meja makan, Sesampainya di meja makan, ia meletakkan tas di samping kursi kosong, lalu berkata pelan
“Pagi.”
Kylie yang sedang duduk di meja makan langsung menoleh, wajahnya bersinar penuh semangat.
“Pagi juga!” katanya ceria.
Ia menatap kakaknya dengan mata berbinar, penuh kekaguman.
“Kak, kamu hebat banget! Teman-teman aku bilang kamu keren banget pas debat, kayak di acara TV!”
Ellora tersenyum kecil, lalu menjawab lembut,
“Terima kasih, Kylie.”
Dari dapur, terdengar suara Lily yang sedang menyiapkan sarapan. Ia tidak melihat ke arah Ellora, tapi suaranya terdengar jelas dan tajam.
“Sudah bangun? Ibu kira kamu nggak bisa bangun karena mimpi jadi jaksa.”
Nada bicaranya setengah mengejek, walau diucapkan dengan datar seolah sekadar komentar biasa. Ellora tak menjawab sindiran itu. dia sudah terbiasa dengan sikap lily yang sangat menyebalkan, Ia hanya duduk dan mulai membuka tutup gelas di depannya.
“Aku mau ambil ijazah sekarang, Bu,” katanya pelan, dan sopan. berusaha mengalihkan topik dan ga mau membuat masalah di pagi hari.
Lily meletakkan piring ke meja dengan sedikit tekanan, lalu menoleh singkat ke arah Ellora. “Kamu menang lomba kemarin? Hanya itu saja. Jangan kira itu membuatmu layak jadi jaksa yaa.”
Ellora menunduk. “lora ngerti, Bu.”
lily kemudian melanjutkan perkataannya “Mimpi itu hanya untuk orang yang realistis.”
Suaranya datar tapi jelas. Tidak ada ucapan selamat, tidak ada rasa bangga hanya pengingat bahwa impian Ellora tetap tidak diterima.
Ellora menunduk sedikit, lalu menjawab pelan, tanpa membantah,
“Iya, Bu.”
Tak ada yang membalas lagi setelah itu. Hanya suara piring, sendok, dan detik jam di dinding yang mengisi keheningan. Dan seperti biasa, Ellora menyimpan semua dalam diam.
Setelah sarapan selesai, Ellora membereskan piringnya sendiri tanpa diminta. Lily sudah pergi ke ruang tengah, menyibukkan diri dengan tablet di tangannya. Liandra sudah keluar rumah untuk bekerja lebih dulu tanpa banyak bicara. Hanya suara dari televisi dan derit kursi Kylie yang terdengar di ruang makan.
Ellora mencuci tangan, lalu mengambil tasnya dari samping meja. Ia mengecek isi tasnya dengan tenang.
Setelah memastikan semua beres, Ellora berdiri di depan pintu rumah. Suara mesin mobil sudah terdengar dari luar. Supir keluarga, Pak Hari, memang sudah biasa menunggu tanpa perlu disuruh, terlatih memahami ritme keluarga ini yang jarang bicara tapi selalu ingin serba cepat dan rapi.
“Pak Hari udah nunggu di luar,” gumam Kylie dari arah belakang.
Ellora menoleh dan mengangguk singkat.
“Iya. Kakak berangkat dulu, ya.”
“hati hati!” ucap kylie
“bilang sama pak hari, jangan sama kakak,” jawab Ellora mencoba memulai sesuatu yang ga canggung.
“pak hari usah profesional, maksudku, kamu yang hati hati di sekolah nya!” jelas kylie, dia tersenyum melihat kakaknya masih bahagia diatas penderitaan yang terjadi padanya.
“owalaa, siappp,” jawab ellora lembut dan berpamitan dengan kylie.
Kemudian ia melangkah keluar. Udara pagi mengusap wajahnya yang tenang, tapi tidak benar-benar membuat nafasnya lega.
Pak Hari buru-buru melangkah membuka pintu mobil, seperti biasa menyambut pagi dengan semangat tulus yang tak pernah luntur.
“Selamat pagi, Non Ellora,” sapanya hangat, disertai senyum yang selalu berhasil membawa sedikit cahaya pada hari apa pun.
“Hehehe… makin cantik aja sekarang,” lanjutnya sambil mengangkat alis, mencoba mencairkan suasana dengan candaan ringan.
Ellora tersenyum kecil, sopan seperti biasa. “Pagi juga, Pak. Terima kasih,” jawabnya lembut, suaranya nyaris seperti bisikan pagi yang baru terbangun.
“Non Ellora keren banget, loh, kemarin,” ujar Pak Hari lagi, kali ini matanya berbinar bangga. “Pasti Nyonya Niara seneng banget liat Non Lora berhasil seperti ini.”
Ucapan itu perlahan melayang ke udara, lalu jatuh tepat di hati Ellora dan membukakan kembali kenangan yang selalu ia jaga rapat-rapat. Sekilas, bayangan wajah ibunya, Niara, melintas di benaknya: senyum hangat, sentuhan lembut, serta pelukan niara yang seperti rumah ternyaman baginya.
Pak Hari menyadari perubahan di mata gadis itu, tatapan yang mendadak kosong, dan senyum yang mulai meredup. Ia buru-buru mengganti topik, menyembunyikan kekhawatiran di balik nada cerianya.
“Aduh, hampir lupa! Bapak bawa roti kesukaan Non dari toko langganan loh. Katanya, sarapan manis bisa bikin hati adem, ya kan?”
Ellora tersenyum lagi, kali ini lebih hangat, meski matanya masih menyimpan rindu yang belum selesai.
Ellora kemudian menerima roti dari Pak Hari, bungkus kertasnya masih hangat. Aroma mentega dan kayu manis perlahan mengisi udara pagi yang dingin. Ia memandang roti itu sejenak, seperti mengenali kembali bagian kecil dari masa lalu yang sempat hilang.
“Masih suka yang rasa ini, kan?” tanya Pak Hari pelan, menatapnya dengan hati-hati.
“Iya…” gumam Ellora, mengangguk pelan. “Ini favorit Mama juga.”