Emak-Emak Sekolahan

R Fauzia
Chapter #1

Mengukur Jalan Harapan

Sesungguhnya jika tidak ada urusan, Wiwid akan lebih memilih berada di dalam rumah di pagi yang sangat terik itu, bersibuk ria dengan urusan emak-emak rumahan, dan bersenang-senang di dapur. Namun, gara-gara pengumuman hasil seleksi PPDB yang keluar kemarin malam, ia hanya menyiapkan sarapan mi instan untuk keluarganya, dan bahkan tidak ikut bersantap bersama.

“Bang! Wiwid keluar dulu, bentaran!” pamitnya pada Budiman, sang suami.

“Mau kemana, toh?”

“Ke depan, bentaran!”

“Makan duluu …” Nada lembut khas lelaki Solo itu sebetulnya adalah komando bagi Wiwid. Namun, ibu tiga anak yang masih dongkol karena hasil PPDB itu tidak ingin menunda pelaksanaan ide brilian yang sudah ia rencanakan sejak kemarin malam.

“Abang makan duluan aja, sama anak-anak!”

Takmemberi waktu pada siapa pun untuk bertanya lagi, Wiwid melesat meninggalkan ruang makan. Rumah mereka yang berukuran mungil membuatnya sudah bisa mencapai luar pagar halaman depan dalam sekejap mata. Tukang sayur langganan yang sedang mangkal di situ langsung menyambut penuh semangat.

“Bu Wid, ieu aya terong. Jambal roti oge, aya! Kamari pan ceuna hoyong jambal!” ucapnya sambil melayani dua orang pembeli.

“Libur masak dulu saya, Mang!” jawab Bu Wiwid. Kemudian, ia menyapa dua orang tetangga yang tengah serius memilih-milih sayuran.

“Borong yang banyak, Bu Mar! Ntar saya bawa rantang ke rumah, Bu Mar!” ucapnya, “Ceu Ros bikin tongkol balado, Ceu! Bagi-basi saya, tapi!”

“Beresss!” jawab tetangga Wiwid yang bernama Ros.

“Bu Wid, mau ngapain bawa-bawa meteran?” Bu Mar bertanya. Matanya melirik ke alat pengukur jarak di tangan Wiwid.  

“Ngukur jalanan, Bu Mar.”

“Ngukur jalan? Mau bikin apa, ngukur jalan?”

“Bu Wiwid mau bangun rumah kali, Bu Mar!” celetuk Ros.

“Yeee! Dimusuhin orang segang nanti, saya! Bangun rumah di tengah jalan!”

Semua tertawa. Wiwid menekan tombol meteran yang biasa digunakan oleh tukang bangunan. Bu Mar yang penasaran, menghentikan kegiatan berbelanjanya, lalu mengikuti langkah istri Pak Budiman itu.

“Iki, Wiwid mau buat apa, toh?” tanya Bu Mar dengan logat Jawa yang cukup kental.

“Saya mau protes, Bu Mar.”

“Protes sama siapa, Bu? Kenapa?”

Wiwid pun bercerita tentang kejadian yang menjadi pemantik aksinya, dimulai dari kemarin sore saat ia tengah berada di dapur. Ketika itu, ia baru saja memarinasi daging sapi kiriman Cing Arif yang rencananya akan dibuat masakan daging goreng sambal hijau. Selanjutnya, dua jenis cabai berwarna hijau serta tomat berwarna sama yang sudah dicuci, mulai diiris. Tiba-tiba, Imam datang, dan langsung bertanya, “Mak, jadi enggak, liat pengumuman?”

“Emang, udah jamnya?”

“Udah, Mak. Udah bisa dibuka, tuh!”

“Ya, udah. Buruan,liat! Bismillah, ada nama si Dian.”

Keduanya meninggalkan dapur dan berpindah ke ruang makan yang hanya dibatasi oleh bukaan selebar ukuran pintu standar. Imam langsung mendaratkan tubuh di bangku belajar kemudian menekan menekan tetikus yang tergeletak di samping komputer. Seketika, layar desktop yang semula gelap memperlihatkan tampilan situs PPDB Jakarta tahun 2023.

“Oh, lu udah liat, Mam?” tanya Wiwid. Yang ditanya menggeleng.

“Ya udah, buruan diliat!” perintah sang bunda.

“Bentar, Mak. Dibuka dulu.”

Meskipun sudah beberapa kali, menghadapi situasi sejenis, Wiwid masih saja merasa cemas tiap kali membuka pengumuman Penerimaan Peserta Didik Baru. Imam, sang putra sulung pernah gagal dalam seleksi ke SMA Negeri yang terdekat dari rumah karena penerapan sistem zonasi yang mulai diterapkan sejak beberapa tahun lalu. 

“Ada nama si Adek, Mam?”

“Enggak ada, Mak!”

“Hah? Kagak ada? Liat lagi yang bener! Kelewat kali, lu bacanya!”

“Enggak ada, Mak.”

“Gimana bisa? Maaaasssa, si Adek kagak masuk di zonasi?”

“Dulu, Imam juga mental ‘kan, Mak! Gara-gara zonasi.”

“Tapi, ‘ntu SMP jaraknya lebih dekeet, Mam! Elu lempar kulit pisang! Kepeleset! Nyampe deh, elu ke 345!” Bu Wiwid sewot. Seperti biasa, dalam keadaan jengkel, logat Betawinya keluar. Dengan nada menuduh, ia bertanya, “Yakin lu, kagak salah baca, Mam?”

“Yah, Emak! Ya, udah! Mau Imam bacain satu-satu?”

“Kagak, usah! Lu liat aja lagi! Kali aja, keselip nama adeklu di situ.”

Imam patuh, membaca lagi satu persatu nama yang tercantum dalam pengumuman PPDB. Wiwid yang berdiri di belakang putranya memberi komando, “Jangan ada yang kelewat,Mam! Baca satu-satu, dari atas sampe bawah!.”

Lihat selengkapnya